Perwakilan sejumlah Ormas seperti Hizbut Thahrir Indonesia
(HTI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI,
dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menggelar Rapat Koordinasi Ormas dan
Lembaga Dakwah (16/7/2017) yang merumuskan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017.
Ormas HTI merasa sebagai Ormas pertama yang bakalan menjadi
bidikan pembubaran dengan perubahan UU No. 17 Tahun 2013,
sedangkan FPI dan GNPF MUI merasa akan menjadi sasaran
berikutnya setelah HTI, sehingga HTI, FPI dan GNPF MUI terlihat getol untuk
melawan PERPU No. 2 Tahun 2017. Berbagai argumentasi disusun menggunakan
logika dan bahasa dewa seolah Negara telah menjadi arogan dan mematikan hak
asasi manusia, Pemerintah mengebiri demokrasi dan Negara merampas kebebasan
dengan munculnya PERPU No. 2 Tahun 2017.
Logika rakyat dipengaruhi untuk menyerang dan menjelek-jelekkan Pemerintah,
sementara Pemerintah memang harus tegak mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara
serta keselamatan bangsa dari segelintir Ormas-Ormas yang mengusik keutuhan Negara
Indonesia. Pemerintah bukan berarti merampas kebebasan tetapi berupaya
mencegah
Ormas yang kebablasan untuk mengganti
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila atau mengembangkan radikalisme.
Landasan
Prosedural dan Substansial Perpu No. 2 Tahun 2017
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)”. Ketentuan tersebut
juga, diamanatkan dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bahwa “PERPU adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Penafsiran terhadap “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang
menjadi dasar penerbitan suatu PERPU merupakan subjektifitas Presiden dalam arti hak prerogatif Presiden, dan selanjutnya DPR
melakukan penilaian atas penafsiran Presiden terkait “hal
ihwal kegentingan yang memaksa”, melalui pembahasan Perpu dalam masa persidangan berikutnya
setelah Perpu didaftarkan ke Badan Legislatif DPR. PERPU didaftarkan ke DPR harus segera dibahas untuk dapat disetujui atau tidak tidak disetujui
oleh DPR, sebagaimana Pasal 22 UUD 1945, bahwa:
(1)
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2)
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu
harus dicabut.
Dalam PERPU
No. 2 Tahun 2017 setidaknya, 2 (dua) pertimbangan Pemerintah atau Presiden
dalam “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yaitu: pertama, terdapat
organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan
asas organisasi kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar organisasi
kemasyarakatan (baca : menyimpang dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945) yang telah terdaftar dan telah disyahkan
Pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan
dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan kedua, Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi
terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan pertimbangan penyusunan PERPU No. 2 Tahun
2017, cukup jelas bahwa Pemerintah menilai perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara telah diwarnai sebagian Ormas yang menyimpang dari asas anggaran
dasar Ormas berupa menyimpang dari Pancasila dan UUD RI tahun 1945, yang
mendesak harus segera diberikan sanksi. Namun, UU yang yang ada belum cukup
memadai untuk segera mengambil tindakan hukum yang cepat. Keberadaan Ormas yang
menyimpang dari Pancasila dan UUD RI Tahun 1945, menjadi pertimbangan
substansial perlunya dikeluarkan PERPU No. 2 Tahun 2017, sedangkan adany
kondisi mendesak untuk diambil langkah hukum, sementara UU yang ada (dalam hal
ini UU No. 17 Tahun 2013) dianggap tidak cukup memadai untuk segera membubarkan
Ormas) merupakan pertimbangan prosedural dalam menerbitkan PERPU No. 2 Tahun
2017. “Kegentingan yang memaksa”
bukan harus dimaknai negara dalam keadaan bahaya karena ancaman senjata atau
peperangan atau kekacauan (chaos),
namun kondisi dimana ada kebutuhan Pemerintah untuk segera menyelesaikan
masalah hukum dan keberadaan UU dinilai tidak memadai. PERPU No. 2 Tahun 2017 telah memenuhi unsur
objektifitas “kegentingan yang memaksa”
pembentukan PERPU sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
yaitu ada tiga ukuran objektif untuk menerbit PERPU untuk memenuhi “kegentingan yang memaksa” yaitu:
1) Adanya
keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan Undang-Undang;
2)
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3)
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Sementara itu, terkait asas contrarius actus yaitu suatu badan atau pejabat tata usaha negara
yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendiri berwenang
membatalkan kembali keputusannya. Itu dimaksudkan, hukum dapat dibatalkan (verniegbaar) dengan cara dicabut
pihak yang berkompeten, bukan semata-mata harus dibatalkan melalui pernyataan
pembatalan oleh pengadilan. Dalam hal hukum administrasi negara maka wajar
produk hukum suatu lembaga dicabut atau dibatalkan karena suatu Lembaga
menganggap hukum yang dikeluarkan ada kekurangan atau ada akibat perbuatan yang
ditimbulkan. Merupakan kelaziman dalam hukum
administrasi negara, apabila Ormas yang disyahkan melalui Keputusan Kementerian
Hukum dan Ham, kembali dibatalkan atau dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dengan asas contrarius actus maka
Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki kewenangan memberikan izin Ormas maka
berwenang untuk mencabut izin, meskipun demikian Subjek hukum yang terkait
dengan suatu Keputusan dapat melakukan Gugatan Tata Usaha Negara melalui
Pengadilan.
Dengan
pertimbangan tersebut, tidak cukup alasan bahwa PERPU No. 2 Tahun 2017 tidak
memenuhi syarat prosedural dan substansial karena secara prosedural PERPU No. 2
Tahun 2017 memiliki cukup alasan adanya “kegentingan
yang memaksa” dan secara substansial Pemerintah memiliki bukti faktual
keberadaan Ormas yang telah menyimpang dari Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
Sementara UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas tidak cukup memadai kondisi
tersebut, karena proses pembubaran Ormas melalui Pengadilan menghilangkan asas contrarius actus Kementerian Hukum dan
HAM, serta Kementerian Hukum dan HAM tidak selayaknya mensengketakan putusannya
sendiri ke Pengadilan namun Kemenkumham memiliki wewenangan untuk mencabut
keputusannya sesuai hukum administrasi negara.
Perpu
No. 2 Tahun 2017, Konstitusional Untuk Membubarkan Ormas
Ormas
yang merasa dirugikan dengan keberadaan PERPU No. 2 Tahun 2017 dapat mengajukan
gugatan judicial review, meskipun
PERPU No. 2 Tahun 2017 memiliki cukup landasanhukum untuk memenuhi syarat prosedural dan syarat substansial
karena telah memenuhi indikator objektifitas penerbitan PERPU. PERPU No. 2
Tahun 2017 yang disyahkan Presiden pada 10 Juli 2017 telah syah menjadi hukum
positif yang berkekuatan hukum mengikat untuk membubarkan Ormas, meskipun PERPU
memiliki jangka waktu yang bersifat sementara (waktunya sangat terbatas) yaitu
hingga ada putusan DPR suatu PERPU disetujui atau tidak disetujui atau ada UU
yang mencabut atau UU yang mengesahkan. PERPU memiliki kedudukan yang sama
dengan UU, sesuai Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 bahwa hierarkhi Peraturan
Perundang-undangan PERPU setara dengan UU, sedangkan Pasal 11 UU No. 12 Tahun
2011 dinyatakan muatan materi PERPU sama dengan muatan materi dengan UU. Dalam
konteks PERPU No. 2 Tahun 2017, muatan materi PERPU merupakan muatan “pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat”.
Sebagaimana pembahasan diatas, bahwa PERPU No. 2 Tahun 2017 dinilai mendesak
dikeluarkan karena UU No. 17 Tahun 2013 tidak cukup memadai untuk segera
membubarkan Ormas yang menyimpang dari Pancasila dan UUD RI Tahun 1945, dan
menyimpang dari kelaziman hukum adminsitrasi negara karena menghilangkan asas contrarius actus.
Pemerintah
dalam hal ini, Kemenkumham memiliki dasar hukum untuk mencabut Keputusan
Pembentukan Ormas dengan dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2017. Namun demikian,
Kemenkumham harus siap dengan judicial
review dari Ormas yang dicabut izinnya atau dibubarkan. Pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang kuat untuk
membubarkan Ormas dengan dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2017. Bahkan
kecekatan Pemerintah untuk membubarkan suatu Ormas akan membuktikan konsistensi
Pemerintah adanya kondisi yang mendesak harus segera diambil langkah hukum.
Apabila Pemerintah konsisten untuk membubarkan Hizbut Thahrir Indonesia (HTI)
sebagaimana pernyataan Kemenko Polhukam, Wiranto dalam konferensi pers pada 8
Mei 2017, maka Kemenkumham semestinya segera menerbitkan Pencabutan Surat
Keputusan Kemenkumham Nomor: AHU-00282.60.10.2014 tentang pendirian HTI dan
membubarkan HTI.
Stabilitas
Nasional versus Hak
Asasi
Pro dan Kontra PERPU No. 2 Tahun 2017
sebenarnya dipicu dua landasan yang berbeda yaitu Pemerintah ingin
mempertahankan Stabilitas Nasional, dipihak lain sebagian
orang merasa mempertahankan Hak Asasi, namun dipihak lain ada sebagian orang
yang membutuhkan eksistensi dengan membesarkan polemik PERPU No. 2 Tahun 2017.
Hal ini, semestinya tidak terjadi ketika semua menyadari adanya prinsip-prinsip
penyelenggaraan kenegaraan Indonesia, diantaranya :
Pertama,
Indonesia adalah negara yang bedasarkan hukum. Negara hukum adalah negara yang
menegakkan supremasi hukum dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, serta tidak
ada tindakan atau putusan hukum yang dibuat dengan tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks, Penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2017 dan Kewenangan Kemenkumham
untuk membuat Keputusan Pencabutan Izin Ormas merupakan perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan untuk memenuhi rasa keadilan Ormas yang dirugikan
dapat menyampaikan bukti hukum dengan mangajukan Oleh karenanya, Pemerintah
harus tegas untuk berani mencabut Ormas-Ormas yang dinilai akan mengganti atau
merubah NKRI dan Pancasila sebagai upaya preventive
strike.
Kedua,
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan demokrasi. Pemerintahan yang
demokrasi merupakan pemerintahan yang memberikan ruang yang luas bagi rakyatnya
untuk menjalankan pemerintahan, namun Indonesia tidak mungkin
menjalankan Pemerintahan secara langsung oleh rakyat, sehingga Demokrasi
Perwakilan menjadi pilihan Indonesia. Kedaulatan Rakyat dijalankan oleh
lembaga-lembaga negara sebagai lembaga perwakilan, yang harus mengembangkan nomokrasi untuk menjembati kepentingan
negara dengan kepentingan rakyat sehingga stabilitas nasional tetap terjamin.
Pada titik tertentu, pelaksanaan hukum yang bertanggungjawab merupakan titik
temu antara Kehendak Rakyat
dengan Kehendak Negara.
Ketiga,
Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai
negara yang menjunjung tinggi HAM, negara memberikan kebebasan berserikat dan
berkumpul untuk menyampaikan pendapat. Pada akhirnya, kebebasan akan
memunculkan fragmentasi diantara masyarakat karena adanya perbedaan kehendak,
sehingga negara menjamin perlu konsolidasi nasional yang menyelamat Keutuhan
Negara Republik Indonesia tetap berdaulat karena NKRI merupakan negara yang
berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kebebasan
harus dibatasi secara bertanggung jawab dengan putusan hukum yang
bertanggungjawab.
PERPU No. 2 Tahun 2017 pada dasarnya bukan sebuah arogansi Pemerintah untuk memberangus kebebasan dan HAM, namun kebutuhan hukum normatif yang mengarahkan kebebasan dan HAM on the track dalam koridor mempertahankan NKRI. Demokratisasi tidak harus mengorbankan Negeri, Kedaulatan tidak mengorbankan Kebebasan. (***)
Editor: Harian Momentum