Media Sosial dan Perekrutan Pelaku Teror

img
By: Stepi Vellanueva Farrah *)

ANCAMAN teror di Indonesia masih terasa mencekam dan menjadi momok berbagai kalangan, karena ternyata kelompok teror tidak jera terus berupaya mengganggu ketentraman dan keamanan di Indonesia, termasuk ada motif untuk mengganggu pemerintahan Jokowi.


Bahkan rumors yang berkembang kelompok radikal di Indonesia menilai secara sinis rencana kunjungan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Tuan Nguyen Phu Trong ke Indonesia pada 22 sampai 24 Agustus 2017.


Walaupun sebenarnya respons dan reaksi kelompok radikal yang akan melakukan aksi unjuk rasa terkait rencana kunjungan ini dapat dinilai tidak masuk akal disebabkan karena komunisme sudah disepakati rakyat Vietnam sebagai ideologi negara mereka, sama seperti rakyat Indonesia sudah menyakini Pancasila sebagai ideologi negara.


Menolak kunjungan tokoh negara berideologi komunis ke Indonesia sama dengan menunjukkan wajah Indonesia dinilai tidak toleran dan mengedepankan rasisme sehingga hal ini dapat merusak hubungan bilateral kedua negara. Oleh karena itu, rencana unjuk rasa menolak kedatangan Sekjen Partai Komunis Vietnam ke Indonesia jelas merupakan kegiatan yang patut disayangkan, karena kurang menganalisis efek regional dan globalnya.


Fakta adanya respons kurang proporsional dari kelompok radikal di Indonesia terkait kunjungan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Tuan Nguyen Phu Trong jelas merupakan indikasi kelompok radikal dapat berubah menjadi kelompok teror meskipun dalam skala yang tidak parah.


Fakta lainnya adalah tiga narapidana kasus terorisme yang mendekam di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Tulungagung menolak mengikuti upacara peringatan Kemerdekaan ke-71 RI bersama ratusan narapidana lainnya.


Ketiga Napi tersebut bernama Edi Fahrizal, Ridwan Sungkar, dan Noim Baasyir bahkan belum bersedia mengikuti program deradikalisasi yang ditawarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Informasi yang beredar, ketiganya tidak mau ikut program deradikalisasi karena menghawatirkan keselamatan anggota keluarga mereka.


Berikutnya adanya informasi bahwa puluhan masjid di 16 provinsi di Indonesia dituduh mendukung kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tuduhan dukungan terhadap ISIS termasuk menyebarkan ideologi dan merekrut militan untuk pergi ke Suriah.Media Australia, ABC.net.au, mengungkap ada 41 masjid di 16 provinsi di Indonesia yang jadi objek penelitian yang dilakukan atas nama Pemerintah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 16 masjid di tujuh provinsi dituding tim peneliti sebagai pendukung kelompok ISIS. Tim peneliti melakukan kajiannya dengan menyusup secara diam-diam ke tempat-tempat ibadah.


Data dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi menyebutkan, rekaman audio berisi ajaran radikal tidak dapat diberikan kepada media, karena milik Pemerintah Indonesia. Dalam penelitiannya, mengidentifikasi tiga jenis masjid. Pertama, masjid umum yang digunakan oleh simpatisan ISIS tanpa sepengetahuan pengurus. Kedua, masjid di mana pengurusnya terkait dengan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, tapi jamaahnya tidak. Ketiga, masjid swasta di mana pengurus dan kongregasi keduanya mendukung kelompok ISIS.


Medsos dan Teror

Enam negara yang tergabung dalam pertemuan Sub Regional Meeting on Foreign Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism (SRM FTF CBT) di Manado, Sulut, akan menggandeng perusahaan media sosial untuk memburu keberadaan teroris.  Ke enam negara tersebut yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunai Darusalam, Australia dan Selandia Baru.


Pemerintah akan memaksimalkan peran media sosial untuk membendung pengaruh paham radikalisme dan terorisme. Hal itu ditempuh seiring maraknya perekrutan pendukung kelompok terorisme dengan memanfaatkan media sosial. Enam negara akan mengajak semua perusahaan media sosial untuk membantu memerangi terorisme dan radikalisme melalui pesan perdamaian dan toleransi.


Menggandeng pengelola Medsos dalam perang melawan kelompok teror dan meredusir kelompok teror adalah langkah yang signifikan sebab banyak fakta menyebutkan kelompok teror aktif merekrut anggota baru melalui Medsos, hal ini diperoleh dari “hasil pengembangan” aparat penegak hukum terhadap beberapa terduga teroris yang ditangkap diseluruh Indonesia, sebagai contohnya adalah melalui media sosial yang sempat ditutup pemerintah, Telegram, AP, terduga teroris di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, bersama sejumlah rekan lainnya telah merekrut sebanyak 2.000 anggota dalam waktu dua tahun saja.


Selanjutnya, seluruh anggota di media sosial itu dia diminta untuk dapat menyumbangkan uang mereka dengan dalih kegiatan amal. Seluruh anggota yang tergabung dalam media sosial itu tidak hanya berasal dari Riau, namun dari seluruh penjuru Indonesia. Selain melalui media sosial, anggota grup juga disebut cukup aktif melakukan penggalangan dana melalui kegiatan turun ke lapangan secara langsung.


Pada pertemuan G20 belum lama ini semua negara yang tergabung menyatakan diri melawan terorisme. Untuk memerangi dan memburu terorisme, enam negara yang tergabung dalam pertemuan Sub Regional Meeting on Foreign Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism (SRM FTF CBT) di Manado, Sulut, akan menggandeng perusahaan media sosial (Medsos).


Penyebaran radikalisasi di media sosial emang sudah sangat mengkhawatirkan kita. Medsos sudah berperan besar dalam menyebarkan pengaruh paham radikalisme dan terorisme. Belakangan aksi perekrutan pendukung kelompok terorisme dengan memanfaatkan medsos juga sudah sangat marak. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), misalnya, kerap kali menggunakan sosial media untuk merekrut anak muda bergabung dalam jaringan tersebut.


Diperkirakan sekitar 30 ribu orang dari berbagai negara bergabung dengan ISIS setelah terpengaruh dengan propaganda lewat jaringan online.  Secara aktif, para pengelola/admin akun Medsos organisasi radikal melakukan rekrutmen, penggalangan dana, maupun simpatisan.   Kelompok teroris ISIS setidaknya memiliki puluhan jaringan akun online yang memuat berbagai genre isu propaganda untuk meraih simpati massa. 


Medsos jika tidak dikelola dan dikendalikan dengan tepat, dapat berubah menjadi sarana komunikasi massa yang demikian membahayakan.  NATO dalam risetnya telah memasukkan Medsos sebagai senjata dalam perang hybrida selain senjata konvensional lainnya.  Melalui Medsos, suatu individu, masyarakat, bahkan negara dapat dikuasai mindsetnya.


Di Indonesia keberadaan akun-akun Medsos yang mempromosikan ide-ide radikal, informasi yang provokatif dan manipulative, sudah sangat terlihat.  Tujuannya tak lain untuk mengarahkan masyarakat pada tindakan-tindakan agresif tertentu, semisal kebencian pada orang, kelompok, agama, ras, etnis tertentu.


Upaya memfilter konten radikal oleh pemerintah juga merupakan langkah penting. Pemerintah dan provider Medsos harus dapat menjalin kerjasama efektif dan berkomitmen untuk melindungi kepentingan masyarakat dari paparan konten-konten yang membahayakan publik, terutama konten dari kelompok radikal dan teror. Tentu saja untuk memberikan efek jera penegakan hukum harus dilakukan guna menyeret para penyebar konten radikal dan teror ke meja hijau. (*)


*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia. Tinggal di Sulawesi Selatan


 







Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos