Dalam perspektif intelijen strategis dan keamanan nasional,
perkembangan politik kontemporer yang berdampak menimbulkan ancaman non militer
antara lain : pertama, pembahasan
RUU Pemilu. Selama masa pembahasan RUU Pemilu yang akan digunakan sebagai
payung hukum pelaksanaan Pilkada 2018, Pileg 2018 dan Pilpres 2019 yang sudah
selesai dilaksanakan, ternyata diaku atau tidak, serta tanpa disadari, bangsa
ini telah melakukan kesalahan kolektif kolegial dalam penetapan infrastruktur
politiknya yaitu dengan menyerahkan pembahasan RUU Pemilu kepada DPR-RI. Memang
DPR-RI memiliki tugas legislasi, namun hal tersebut sebaiknya tidak berlaku
dengan masalah Parpol dan Pemilu, karena akan banyak vested and conflict interest kalangan Parpol dan politisi Senayan,
terbukti pembahasan RUU Pemilu mengalami kebuntuan terutama dalam hal parliamentary threshold, presidential threshold dan isu sensitif
lainnya.
Usulan pemerintah agar syarat 20% presidential threshold adalah baik untuk diberlakukan, karena jika
tidak ada syarat ini atau prosentasenya lebih kecil maka diestimasikan akan
banyak “un-qualified president candidates”
yang bermunculan dari kalangan atau aliansi Parpol gurem dan “un-believeable political party”, hal
inilah ancaman non militer yang sangat dikhawatirkan. Ke depan, sebaiknya pembahasan
RUU Pemilu dilakukan oleh Pemerintah, KPU, Bawaslu dan melibatkan
masyarakat/pakar secara terpilih, agar UU Pemilu yang dihasilkan dapat berlaku
langgeng dan menciptakan “equal battle field”
diantara kontestan Pemilu.
Kedua, Pansus
Angket KPK oleh DPR-RI. Hak angket KPK yang digulirkan oleh DPR-RI adalah hak
konstitusional pihak parlemen, namun manuver politik ini dinilai berbagai
kalangan penuh dengan “politik transaksional dan hidden agenda” karena hak tersebut digulirkan disaat KPK akan
membongkar skandal mega korupsi e-KTP. Opini publik yang berkembang menunjukkan
dukungan dan kepercayaan terhadap KPK semakin menguat, sebaliknya sinisme dan
hujatan terhadap parlemen semakin meluas.
Permasalahan politik kontemporer dan krusial ini berpotensi
menimbulkan ancaman non militer yaitu melemahnya atau bahkan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap niat/intention
pemerintah memberantas korupsi, padahal korupsi sudah layak dinyatakan sebagai extra ordinary crimes seperti halnya
teroris, karena sama-sama merusak bangsa ke depan.
Kegagalan mengeliminir meluasnya korupsi adalah isu politik
sensitif yang berpotensi menimbulkan ancaman non militer lainnya yaitu impeachment dan social mobilization against the government (mobilisasi sosial
melawan pemerintah).
Meski demikian, masyarakat,
pemerintah dan KPK juga tidak boleh melewatkan adanya beberapa temuan Pansus
yang patut dicermati bersama. Temuan Pansus Angket KPK DPR-RI (22 Agustus 2017)
ada 11 temuan dugaan pelanggaran yang dilakukan KPK dalam menangani berbagai
kasus korupsi yaitu : 1) dari aspek kelembagaan, KPK menjadikan dirinya sebagai
lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi,
serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritik 2) KPK dengan
argumen independen, mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang
cabang-cabang kekuasaan negara yang berpotensi abuse of power 3) KPK sudah
sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari DPR. 4) KPK dalam
menjalankan Tupoksinya belum patuh pada asas kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK 5) dalam menjalankan
fungsi koordinasi, KPK cenderung
berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi lembaga-lembaga negara
lainnya. KPK lebih mengedepankan praktik penindakan melalui opini pemberitaan
daripada politik pencegahan. 6) dalam fungsi sipervisi, KPK lebih cenderung
menangani sendiri tanpa koordinasi alih-alih berupaya mendorong, memotivasi dan
mengarahkan instansi kejaksaan dan kepolisian. 7) dalam fungsi penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan
mengabaikan HAM. 8) terkait dengan SDM aparatur, KPK selalu berargumen
independen, merumuskan dan menata SDM yang berbeda dengan unsur aparatur
lembaga negara lainnya. 9) terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan
audit BPK banyak hal yang belum dapat dipertanggungjawabkan. 10) terhadap sejumlah kasus yang ditangani, Pansus
memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum
positif dan menjunjung tinggi HAM. 11) terhadap sejumlah kasus terkait dengan
unsur pimpinan, kasus Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, Komisi III DPR
dapat segera mengundang KPK dan Polri untuk melaksanakan fungsi pengawasan.
Ketiga, Perppu No 2/2017 Tentang Pengganti UU No
17/2013 tentang Ormas. Kelahiran Perppu No 2/2017 adalah “the brilliant
moves” yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menangkal dan mendeteksi
munculnya benih ancaman non militer di Indonesia yaitu politisasi isu SARA dan
dikembangkannya politik identitas; Terancamnya ideologi negara Pancasila dan
pilar bangsa lainnya; Radikalisme; dan munculnya benih-benih tergerusnya
pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia, termasuk ancaman militer yaitu
separatisme.
Oleh karena itu, seluruh national stakeholders harus merapatkan barisan, termasuk fraksi-fraksi di
parlemen untuk dapat menerima Perppu ini menjadi undang-undang dan kalangan
yudikatif untuk menggubris upaya-upaya hukum menolak Perppu No 2/2017 (law efforts to deny the government in lieu
of law No 2/2017) yang dilakukan berbagai kalangan dengan beragam cara.
*)
Penulis adalah wartawan senior di Pekanbaru, Riau.
Editor: Harian Momentum