Harianmomentum--Krisis Rohingya adalah tragedi
kemanusiaan yang secara etis dan politik menuntut dunia internasional untuk
melakukan intervensi kemanusiaan. Negara-negara ASEAN tidak bisa berlindung
dibalik prinsip menghormati kedaulatan Mynamar atas tragedi ini.
Menurut
Ketua SETARA Institute, Hendardi, pembiaran dunia internasional atas Rohingya
diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan, sehingga Aun San Su Kyi
terus memperoleh proteksi politik, karena belum ada rezim pengganti yang
potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang
memiliki kepentingan kuat.
Meski
demikian, krisis Rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh
dinamika politik dalam negeri Myanmar. Dengan demikian, potensi gangguan
keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok
ideologis ISIS. Gangguan keamanan dalam negeri dan kawasan lebih berupa
meningkatnya asylum seeker/pencari suaka ke Indonesia dan sejumlah kawasan
lain.
“Para
pencari suaka adalah problem human security dan kewajiban negara-negara untuk
mencari resolusi terbaik bagi Rohingya,” ujar Hendardi dalam keterangan
tertulis yang dikirim ke redaksi Harianmomentum, Sabtu (2/9).
Hendardi
melanjutkan, selain secara etis pemerintah Indonesia harus bersikap, secara
politik, pemerintah juga harus mengantisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang
mengkapitalisasi isu ini untuk kepentingan politik dalam negeri.
Populisme
agama akan mendapat tempat kokoh di tengah krisis kemanusiaan semacam ini,
apalagi aktor yang terlibat dalam krisis, berbeda secara diameteral dalam soal
agama dan etnis.
“Diskriminasi
ganda dan dugaan genosida atas dasar agama dan etnis yang dialami oleh Rohingya
sangat mungkin menghimpun solidaritas dan dukungan publik. Jika pemerintah
tidak mengambil langkah politik, potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga
cukup tinggi,” ujar Hendardi.
Indikasi keterlibatan tentara Myanmar merupakan bukti bahwa kekerasan tersebut dipelopori oleh negara. Selain intervensi kemanusiaan, advokasi Myanmar juga sangat memungkinkan untuk dipersoalkan dalam kerangka kejahatan universal, karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional.
“Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya,” tegas Hendardi. (rls)
Editor: Harian Momentum