Oleh Stanislaus Riyanta *)
PERISTIWA kelam terkait aksi teror di Natal dan Tahun Baru
pernah terjadi di Indonesia. Serentetan serangan bom di beberapa gereja terjadi
pada malam natal 24 Desember 2000 yang dilakukan oleh kempok radikal. Sejumlah
kota yaitu Jakarta, Bandung, Kudus, Pekanbaru, Batam, Pangandaran, Mojokerto
dan Mataram menjadi tempat aksi yang keji ini. Peristiwa ini merenggut nyawa 16
jiwa dan melukai 96 orang lainnya, kerugian material juga cukup banyak.
Momen Natal dan Tahun Baru menjadi waktu yang cukup favorit
bagi pelaku teror di Indonesia. Salain bom malam Natal tahun 2000, aksi teror
juga terjadi pada 1 Januari 2002. Saat itu aksi teror dilakukan dengan
menggunakan granat manggis di Bulungan Jakarta. Kemudian pada saat yang hampir
bersamaan empat ledakan juga terjadi beberapa Gereja di Palu, Sulawesi Tengah.
Di tahun yang sama terjadi aksi teror dengan menggunakan bom
di restoran McDonald’s Makasar, 5 Desember 2002. Pada tahun 2004 terjadi aksi
bom di Palopo, 10 Januari 2004, dan di Gereja Immanuel Palu Sulawesi Tengah
pada 12 Desember 2004. Tahun berikutnya bom kembali meledak di sebuah pasar di
Palu, Sulawesi Tengah pada 31 Desember 2005.
Saat ini terlihat kekuatan kelompok radikal pelaku aksi teror,
terutama yang berafiliasi dengan kelompok trans nasional ISIS sudah melemah. ISIS
sudah kalah di Timur Tengah. Aksi ISIS di Marawai Filipina juga sudah bisa
dikalahkan oleh Pemerintah Filipina. Kelompok radikal ini terlihat mulai
melemah dan tercerai berai sehingga aksi-aksinya menjadi sporadis memanfaatkan
momen tertentu dan lengahnya aparat keamanan.
Aparat keamanan di Indonesia gencar melakukan penangkapan
terhadap anggota kelompok radikal untuk mencegah terjadinya aksi teror. Pada
bulan Desember ini, Densus 88 telah menangkap sedikitnya 22 orang terduga
teroris di empat propinsi yaitu Jawa Timur, Sumatera Selatan, Riau, dan
Kalimantan Barat. Terduga teroris sebanyak 3 orang ditangkap di Jatim, 4
orang ditangkap di Pekanbaru, 12 orang di Sumatera Selatan, 3 orang dari
Kalimantan Barat. Sebagian dari terduga teroris yang ditangkap tersebut
diketahui telah melakukan pelatihan dan persiapan untuk melakukan aksi teror
dengan sasaran ke kantor kepolisian.
Melihat kinerja aparat keamanan di Indonesia yang cukup baik,
dan perkembangan kelompok radikal di tingkat global dan regional, maka prediksi
situasi Natal 2017 dan Tahun Baru 2018 akan aman. Alasan dasar dari prediksi
situasi yang aman ini ada dua hal. Pertama melemahnya kekuatan kelompok radikal
karena gencarnya tindakan penganggulangan teror oleh Polri, dan yang kedua
adanya perubahan sasaran aksi teror dalam beberapa tahun terakhir yang lebih
mengarah kepada aparat kepolisian. Walaupun tercatat dalam 2 tahun terakhir
masih ada aksi teror yang terjadi di Gereja, yaitu di Gereja Katolik Santo
Yosef (28/8/2016) dan di Gereja Oikumene Samarinda (13/11/2016).
Walaupun diprediksi akan aman, namun peluang terjadinya aksi
teror pada Natal 2017 dan Tahun Baru 2018 tetap perlu diperhitungkan. Peluang
yang diperkirakan sangat kecil ini kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pelaku
teror tunggal (lone wolf), orang yang telah menjadi korban swa-radikalisasi,
terpapar paham radikal melalui bantuan teknologi internet dan media lain.
Pelaku bisa melakukan aksi secara personal sehingga tidak terdeteksi
persiapannya. Pelaku ini tidak berkelompok sehingga tidak terlacak arus
komunikasinya.
Faktor yang diduga bisa menjadi pendorong aksi teror lone wolf
dalam waktu dekat adalah terkait dengan Manuver Trump tentang Palestina. Aksi
teror terhadap simbol Amerika dan obyek agama tertentu bisa saja dilakukan
karena dianggap sebagai bentuk perjuangan untuk membela Palestina. Faktor
selanjutnya adalah kebutuhan eksistensi kelompok radikal yang berafiliasi
dengan ISIS, walaupun faktor ini cukup lemah karena mereka cenderung menjadi
sel tidur.
Kemungkinan yang kecil tetap harus diwaspadai dan ditutup
peluangnya. Cara menutup peluang terjadinya aksi teror adalah dengan melibatkan
masyarakat dalam deteksi dini dan cegah dini. Masyarakat sebagai komponen
terbesar negara ini harus meningkatkan kewaspadaan terutama di lingkungan
sekitarnya. Kecenderungan pelaku teror yang akan menarik diri dari lingkungan
bisa diamati sejak dini oleh masyarakat. Jika menemukan adanya kecurigaan maka
masyarakat sebaiknya melaporkan kepada aparat kepolisian.
Kecurigaan terhadap orang asing atau munculnya orang-orang
yang sudah lama tidak bersosialisasi patut diwaspadai walaupun tetap menjaga
asas praduga tidak bersalah. Peran keluarga dan masyarakat untuk melakukan
deteksi dini dan cegah dini atas ancaman teror di wilayahnya masing-masing
sangat penting dan mutlak dilakukan.
Mekanisme untuk melakukan deteksi dini dan cegah dini oleh
aparat intelijen diyakini akan terus dilakukan. Teknologi untuk melakukan
deteksi arus komunikasi, (dan arus dana) kelompok radikal pelaku teror akan
dimaksimalkan agar pergerakan mereka dapat terpantau dan dapat segera dicegah
jika sudah mengarah kepada tindakan yang berbahaya.
Situasi Natal 2017 dan Tahun Baru 2018 yang diprediksi aman, dan usaha yang bisa dilakukan untuk menutup celah kerawanan bagi aksi lone wolf terror oleh aparat dan masyarakat, harus diyakinkan kepada semua pihak. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan cegah dini terhadap ancaman terorisme harus terus dikuatkan. Kepercayaan terhadap pemerintah dan sikap pro aktif masyarakat akan membantu mewujudkan Indonesia bebas dari aksi teror, tidak hanya pada Natal dan Tahun Baru, tetapi sepanjang masa. (*)
*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Editor: Harian Momentum