Sebaiknya Ulama Netral Dalam Pilpres 2019

img
Otjih Sewandarijatun Foto: Ist.

Harianmomentum.com--Pertarungan politik merebutkan kursi “Indonesia 1” di Pilpres 2019 diperkirakan banyak kalangan akan bertambah panas dan semakin menegangkan. Bahkan, sengitnya persaingan politik dalam Pilpres 2019 diyakini banyak kalangan tidak hanya terjadi di dunia nyata, namun “political skirmish” juga akan terjadi di dunia maya.

 

Fenomena botmageddon akan terjadi di dunia maya. Fenomena botmageddon atau

lonjakan tajam kemunculan akun Twitter baru yang anonim harus diwaspadai. Bahkan,

Jennifer Grygiel, pakar media sosial di Syracuse University, New York,

mengungkapkan, peran Medsos dalam pemilu Presiden AS 2016 memberi "cetak biru" kepada banyak pihak di lingkup global untuk  menirunya.

 

Apalagi menilik data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap, bahwa

saluran penyebaran hoax melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40%),

jenis hoax yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga menduduki posisi

paling tinggi (91,80%) menyusul soal SARA. Sementara itu, bentuk hoax yang sering

diterima paling tinggi berbentuk tulisan (62,10%), menyusul gambar (37,50%), dan

video (0,40%).

 

Pertanyaan kita kemudian adalah mengapa hoax mendadak populer menjelang

Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sangat sulit dihapuskan. Pertama, hoax adalah

gangguan dan bentuk perlawanan. Bagi sebagian kalangan yang kurang bisa menerima

perbedaan pendapat, hoax jelas gangguan karena akan dianggap sebagai penyebar

kebencian, sebagai rongrongan, mengancam stabilitas, dan bahkan subversif. Kedua,

hoax adalah cermin dari orang-orang penakut dan tidak jantan.

 

Sebenarnya, dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik yang sehat diberikan dalam ruang yang lebih luas. Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa dijadikan alat penyaluran. Masifnya peredaran hoax, fitnah dan caci maki, menunjukkan bahwa demokrasi kita masih

mengalami cacat (defective democracy) dan terlalu dini untuk disebut terkonsolidasi.

 

Seperti diberitakan banyak media massa, baik Presiden Joko Widodo dan

Prabowo Subianto yang diperkirakan akan maju dalam Pilpres 2019 juga didukung

sejumlah ulama. Pengamat politik dan founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan

Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio, beberapa hal yang membuat ulama

semakin terlibat dalam politik yaitu pertama, hal itu terjadi akibat dampak dari persepsi

publik terhadap dua pasang Capres yang akan bertanding dalam pemilihan berikutnya

tidak memiliki tingkat religiusitas yang tinggi.

 

Kedua, peran ulama bisa menjadi efektif untuk memberikan pengaruh terhadap panggung politik terutama setelah meningkatnya isu pemerintahan saat ini yang cenderung anti Islam. Ketiga, pemilih saat ini lebih mendasarkan pilihannya berdasarkan emosional.

 

Pertanyaan strategis dan signifikannya adalah posisi ulama dalam Pilpres 2019

apakah sebagai “vote getter atau pengumpul suara” ataukah akan menjadi “policy

maker” atau pengambil keputusan? Atau sebaiknya ulama tidak perlu berpolitik praktis

agar nasib “ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah” dapat terjaga dengan baik.

 

Ulama, politik dan tantangannya Ulama adalah bentuk majemuk dari kata dalam bahasa Arab “alim” yang secara harfiyah yang berarti orang yang berilmu. Latar belakang pengertian ini selalu dihubungkan dengan istilah ilmu pengetahuan agama, baik dalam pengertian genosis maupun pengertian eksotis hukum agama. Pada masa – masa paling awal Islam yang disebut ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu – ilmu agama.

 

Pada masa al Khulafaur Rasyidin tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki

pengetahuan agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemisahan politik praktis. Para

sahabat Nabi Muhammad SAW umumnya memiliki pengetahuan keagamaan,

pengetahuan keagamaan dan sekaligus mereka juga pelaku – pelaku politik praktis.

 

Para sahabat terkemuka pada masa itu biasanya duduk dalam satu dewan

pertimbangan yang disebut Ahl al Halli wa al Aqd. Oleh ulama, para sahabat ini

kemudian disebut ulama salaf.

 

Di Indonesia sendiri, ada beberapa macam istilah atau sebutan bagi ulama seperti di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Jawa tengah dan Jawa Timur, ulama disebut Kyai, di Banjarmasin, Sulawesi dan NTB serta NTT, ulama disebut Tuanku Guru.

 

Peran ulama dalam politik sangat penting dan menentukan, hal inipun sudah ditulis dalam kitab suci Al Qur’an seperti ulama diistimewakan kedudukannya karena

dianggap sebagai “penerus” para Nabi dalam hal agama (secara sanad) sekaligus sebagai pemimpin umat.

 

Artinya, para ulama adalah “orang-orang istimewa” karena kedekatan dan ketaatan mereka kepada Tuhan, “Innama Yakhsyallahu min ‘ibaadihi al- ‘ulamaa..” (QS. Faathir: 28), serta sudah diteliti sejumlah ilmuwan antara lain Fath Ali Shah (1797-1834), yang secara kritis menyandarkan kekuasaan pada beberapa kekuatan kesukuan, membangun sejumlah makan suci, mengangkat ulama untuk beberapa jabatan pemerintahan, dan menghormati mereka sebagai mediator antara pemerintah dan rakyat.

 

Sebagai pribadi, ulama tidak menjadi masalah terjun dalam dunia politik praktis,

karena kata Aristoteles (384-322 SM) menyimpulkan bahwa semua manusia pada

dasarnya adalah berpolitik (man is by nature a political animal).

 

Aristoteles meyakini bahwa setiap manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain tidak akan lepas dari hubungan politik (apolitical relationship) untuk mencapai tujuan hidupnya. Artinya dalam arti yang sangat luas setiap manusia adalah politikus (politician).

 

Bahkan dalam sejarah politik Islam dapat dikatakan bahwa kebanyakan ulama pada masa sebelum terbentuknya Dinasi Umayyah adalah seorang politikus, seperti Ali, Umar, Utsman, Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, Abdullah bin Abbas, Aisyah, Abdullah bin Zubeir dan sebagainya. Peran mereka terlihat dalam pengambilan keputusan penting negara, seperti penentuan ekspansi, kebijakan keuangan negara, peperangan. Bahkan untuk beberapa tokoh, seperti Abdullah bin Zubeir, Amr bin Ash malah terlibat kudeta militer terhadap pemerintahan Ali.

 

Sebaiknya tidak berpolitik praktis Jika ada ulama yang ingin terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat juga sah-sah saja. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang diwarnai politik dagang sapi dan korup.

 

Ulama atau dapat juga disebut sebagai cendekiawan sudah diingatkan Julien Benda. Dalam The Betrayal of the Intellectuals  (1980), Julien Benda berpesan agar kaum cendekiawan berhati-hati jika bersinggungan dengan politik kekuasaan.

 

Apalagi kondisi di beberapa partai politik persis seperti dikemukakan Robert Michels (1912) bahwa partai politik nyaris tidak ada yang mampu keluar dari penyakit kronis elitis. Elite politik akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal partai politik. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan posisi ulama dalam Pilpres 2019 hanya akan sebagai vote getter bagi Capres.

 

Memperhatikan hal tersebut dan memprediksi kemungkinan panjangnya carut

karut pasca Pilpres 2019, maka posisi politik paling cocok buat ulama di Pilpres 2019

adalah netral dan berperan penjaga akhlak umat. Ulama-kiai juga harus menjadi

referensi moral bagi semua elite politik.

 

Itu berarti ulama-kiai harus memainkan tugas utamanya, yakni al-amar bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar  (memerintah yang baik dan mencegah yang munkar). Dengan memainkan posisi politik yang mulia ini, netralitas ulama dalam Pilpres 2019 akan membuat “ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah” dapat terjaga dengan baik. Concordia parvae res crescunt discordia maximae dilabuntur (persatuan memperkuat yang kecil, pertikaian mencerai-beraikan yang besar). (Oleh : Otjih Sewandarijatun)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos