TNI dan Prediksi Ancaman ke Depan

img
Foto: Google.

Harianmomentum.com--Setiap negara yang berdaulat membutuhkan militer yang modern, profesional dan kuat untuk mempertahankan kedaulatan negaranya, sekaligus untuk memperkuat diplomasinya, karena sejatinya militer yang kuat memiliki faktor deterrence yang diperlukan dalam fora internasional. 

Sejauh ini, keberadaan dan kemampuan TNI sudah diakui oleh PBB dengan keberhasilan penugasan internasional yang dilaksanakan TNI. Ke depan, ancaman militer diprediksi tidak sekuat ancaman nir militer, sehingga kemampuan TNI untuk mengantisipasi dan meredusir ancaman nir militer adalah sebuah keniscayaan.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, definsi ancaman, adalah ”setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa”. 

Dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia istilah ancaman juga diartikan sama, yakni “setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa” Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi, yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. 

Sedangkan, ancaman nir militer adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter, yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berupa bentuk ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta ancaman yang berdimensi keselamatan umum.

Prediksi ancaman ke depan Ancaman berdimensi ideologi, contohnya ialah gerakan kelompok radikal sebagai salah satu ancaman nyata. Motif yang melatarbelakangi gerakan-gerakan tersebut dapat berupa dalih agama, etnik, atau kepentingan rakyat. Pada saat ini masih terdapat anasir-anasirr adikalisme yang menggunakan atribut keagamaan yang berusaha mendirikan negara dengan ideologi lain, termasuk separatisme. 

Walaupun HTI sudah dibubarkan, namun banyak Ormas anti Pancasila yang patut diwaspadai. Mengapa? Karena mereka mengancam “sisi mendasar negara” yaitu ideologi. Jika ideologi sebuah negara berubah, maka kebijakan pemerintahan, pembangunan dan bahkan kebijakan terkait militernya akan berubah.

Ke depan, ancaman di sektor ideologi yang perlu mendapatkan perhatian TNI adalah terkait separatisme dan terorisme. 

Untuk separatisme, upaya internasionalisasi masalah Papua tetap dilaksanakan oleh pendukung Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB), bahkan Perdana Menteri Vanuatu dalam Sidang Umum PBB baru-baru ini meminta PBB membuat tim menginvestigasi masalah pelanggaran HAM di Papua, walaupun tampaknya harapan Vanuatu hanyalah “voiceless” karena kurang direspons. Di dalam negeri, pendukung separatis misalnya ada yang menolak mengibarkan bendera Merah Putih saat HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2018 yang lalu. Assessment yang diharapkan dari TNI adalah lebih mengedepankan pendekatan antropologi, sosiologi dan kesejahteraan ekonomi untuk meredam eksistensi dan pengaruh KKSB di masyarakat Papua.

Selain itu, ancaman radikalisme atau terorisme, karena walaupun ISIS semakin lemah, namun “jejaring internasional” ISIS masih cukup kuat termasuk di Indonesia, terbukti “perintah” Al Baghdadi yang disebar melalui Medsos seperti pidatonya tertanggal 22 Agustus 2018 melalui video berdurasi 54 menit yang dimuat di media Al-Furqon, termasuk Amaq, media milik ISIS tetap jadi acuan “ISIS lone wolf” di berbagai negara. 

Menurut Jenderal Raymond Thomas (Komandan Pasukan Khusus Koalisi AS) menyebutkan, masih ada 15.000 sampai 20.000 pejuang ISIS dari berbagai negara. Hal ini dibenarkan Syrian Observatory for Human Rights. Sementara itu, Syrian Democratic Forces (SDF) menahan 1.000 pejuang ISIS, diantaranya sebanyak 593 orang berasal dari 47 negara termasuk Indonesia. Beberapa ISIS foreign foghters dari Indonesia diprediksi sudah kembali ke Indonesia dan tetap merekrut anggota baru mereka.

Upaya TNI ikut “memerangi” terorisme sudah mempunyai payung hukum yang baru, namun tetap diperkirakan tidak akan mudah, sebab dalam teori “The Staircase to Terrorism” yang ditulis Fathali M Moghaddam dari Georgetown University ada 5 tangga proses psikologis seseorang berperilaku teroris yaitu ground floor (mengalami ketidakadilan psikologis atas kondisi material yang terjadi); First floor (sepakat melawan karena mendapatkan perlakuan buruk); Second floor (agresi yang salah sasaran); Third floor (mempunyai kesamaan moral); Fourth floor (“Kami” versus “Mereka); Fifth floor yang disebut “sidestepping inhibitations”. 

Intinya, ke depan TNI akan lebih sering menghadapi “lone wolf” kelompok teroris, sehingga mengedepankan intelijen dan pendekatan teritorial lebih disarankan, dengan catatan TNI terus menerus memperbaiki dan membangun citra positifnya ditengah masyarakat, agar masyarakat memiliki “sense of belonging” bersama TNI memerangi terorisme. 

Ancaman berdimensi politik dapat bersumber dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan tekanan politik terhadap Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik merupakan bentuk-bentuk ancaman nirmiliter berdimensi politik yang sering kali digunakan oleh pihak-pihak lain untuk menekan negara lain. 

Ancaman berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa penggunaan kekuatan berupa mobilisasi massa untuk menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah. 

Ancaman berdimensi politik yang benar-benar perlu diantisipasi TNI di tahun politik ini adalah residu-residu Pemilu 2019, apalagi aksi-aksi vandalisme terhadap institusi pemerintah masih terus terjadi di beberapa daerah antara lain seperti perusakan Kantor KPU Jayawijaya, Papua, pembakaran rumah seorang kepala dinas di Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat dan-lain-lain. 

Ancaman berdimensi teknologi informasi adalah munculnya kejahatan yang memanfaatkan kemajuan Iptek tersebut, antara lain kejahatan siber. Bahkan, ke depan diprediksi akan terjadi ancaman siber yang menyerang institusi negara, termasuk institusi militer. Indikasinya, banyak negara membentuk “Cyber army” dalam rangka meminimalisir ancaman semacam ini. 

Cyberwar juga patut diantisipasi oleh TNI, termasuk kemungkinan adanya penggunaan teknologi oleh kekuatan asing untuk “mendestruksi sistem pertahanan Indonesia”.

Ancaman terakhir yang perlu diantisipasi TNI ke depan adalah terkait keselamatan insani atau keselamatan umum akibat adanya bencana alam, apalagi Indonesia sejauh ini belum menyelaraskan program pembangunan dan kemampuan militernya terkait mitigasi ancaman bencana ke depan. 

Adanya bencana alam juga perlu diwaspadai TNI sebagai “pintu masuk” adanya intervensi asing melalui banyaknya bantuan dan relawan asing yang masuk ke lokasi bencana, sebab ada adagium yang berlaku “no free lunch”.  (Penulis adalah Toni Ervianto alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Tinggal di Cilangkap, Jakarta Timur).






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos