Manfaat Survei Politik di Tahun Politik

img
Foto: Google.

Harianmomentum.com--Hasil Survei LSI Denny JA dilakukan pada 14-22 September 2018 melalui interview tatap muka menggunakan kuesioner. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9 persen, menunjukkan berdasarkan penilaian responden maka pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dianggap berpotensi menang telak.

Dalam survei tatap muka dengan kuesioner ini, responden ditanya soal capres-cawapres yang potensial menang telak dengan selisih perolehan suara di atas 10 persen. Hasilnya, Jokowi-Ma'ruf Amin 58,6 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 25,7 persen. Sedangkan tidak tahu/tidak jawab/belum memutuskan 15,7 persen.

Responden dalam survei yang digelar pada 14-22 September 2018 ini juga ditanya soal harapan Pilpres 2019 memunculkan presiden yang kuat. Hasilnya, 85,60 persen responden dari 1.200 responden menyatakan ingin agar terpilih presiden yang kuat. Alasannya beragam. Sebagian besar responden ingin Indonesia stabil untuk menumbuhkan ekonomi/kesejahteraan rakyat, agar tidak diperalat oleh kepentingan sekelompok, agar tak terlalu banyak nego yang tak perlu untuk mengambil keputusan, serta agar presiden kokoh melindungi keberagaman Indonesia. 

Hasil lainnya Capres Jokowi dinilai paling konsisten memperjuangkan dan mempertahankan Pancasila, dimana sebanyak 65,8 persen menyatakan Jokowi sebagai capres yang paling diyakini konsisten tanpa kompromi memperjuangkan dan mempertahankan Pancasila; 28,7 persen menyatakan Prabowo Subianto sebagai calon presiden yang paling diyakini konsisten tanpa kompromi memperjuangkan dan mempertahankan Pancasila. 

Dalam survei juga terpotret sebanyak 72,6 persen responden menyatakan khawatir jika dukungan terhadap Pancasila terus menurun. Sebanyak 7,5 persen menyatakan tidak khawatir. Sedangkan 6 persen menyatakan biasa saja dan 13,9 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.

Mengapa publik menginginkan Pancasila menguat? Sebanyak 27,5 responden menyatakan hanya Pancasila yang dapat membuat pulau dan provisi yang didominasi agama minoritas tidak ingin memisahkan diri dari NKRI. Sebanyak 23,3 persen menyatakan Pancasila terbukti ampuh merekatkan keberagaman Indonesia. Sebanyak 17,8 persen menyatakan khawatir akan bangkitnya sektarianisme. Sebanyak 14,6 persen menyatakan Pancasila adalah miniatur budaya Indonesia. Sebanyak 6,3 persen dengan jawaban-jawaban lainnya dan sebanyak 10,5 persen yang menyatakan tidak tahu/tidak jawab. 

PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra menjadi tiga Parpol yang diyakini menjadi partai kuat. Sebanyak 37,4 persen publik menyatakan PDIP menjadi partai yang paling mungkin menjadi partai yang kuat sekali. Sedangkan Partai Golkar diyakini menjadi partai kuat oleh 16,7 persen dan Gerindra dengan 14,8 persen. Ada 9,2 persen responden memilih partai lainnya dan 12,1 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab/belum memutuskan. Sebanyak 34,80 persen responden survei menyebut PDIP berpotensi menjadi partai kuat karena menjadi partai satu-satunya sejak pemilu era reformasi yang pernah dipilih di atas 30 persen (Pemilu 1999). Sedangkan 32,60 persen menyebut PDIP konsisten memperjuangkan Pancasila. 

Tapi LSI menunjukkan data soal dukungan Parpol pemenang Pemilu yang semakin kecil. Pada Pileg 1999, PDIP muncul sebagai juara dengan mendapatkan 33,7 persen suara. Pada Pileg 2004, Golkar keluar sebagai juara dengan mendapatkan 21,6 persen. Pada Pileg 2009, Demokrat mendapatkan 20,9 persen; dan pada Pileg 2014, PDIP mendapatkan 18,9 persen. Mayoritas publik setuju Indonesia akan lebih stabil jika memiliki satu partai yang kuat sekali. Sebanyak 77,8 persen menyatakan setuju Indonesia akan lebih stabil jika memiliki satu partai yang kuat sekali. Sebanyak 18,6 persen menyatakan tidak setuju, 1,4 persen menyatakan biasa saja, sisanya menyatakan tidak tahu/tidak jawab.

Manfaat survei Sudah banyak hasil survei yang “mengunggulkan” pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin daripada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, hasil positif yang dilahirkan dari berbagai lembaga survei ini jelas akan memudahkan Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin untuk mengutip atau menjadikan hasil survei ini sebagai bahan kampanyenya untuk menyakinkan masyarakat bahwa dengan memilih Jokowi maka masa depan Indonesia akan lebih terjamin.

Hasil survei yang positif juga lama kelamaan dapat merubah “mind set” calon pemilih, terutama pemilih konservatif yang diprediksi masih sulit untuk menerima pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin akan berubah pilihan politiknya dengan mengikuti hasil survei ini.

Penelitian Rose McDermott mengenai Genetic of Politics menunjukkan orang konservatif dan progressive memiliki pola kerja otak yang berbeda. Konservatif memiliki amygdala yang lebih aktif sementara progressive memiliki insula yang lebih aktif.  

Orang-orang konservatif akan lebih menyukai keteraturan (order) dan kagum pada otoritas (authority), sementara orang-orang progressive yang didorong oleh empathy akan lebih cenderung bergerak berdasarkan apa yang dirasakan oleh orang lain. 

Seperti yang dapat dibaca dari data Cambridge Analytica, pemilih konservatif memang cenderung akan memilih Prabowo-Sandi. Jadi trigger amygdala ini akan berfungsi untuk membuat bimbang kelompok yang ada ditengah dimana selain insulanya aktif, amygdalanya masih sedikit lebih dominan.

Disamping itu, survei yang memberi sinyal positif terhadap kinerja Presiden Jokowi juga dapat menjadi “pesan politik”, sekaligus “sosialisasi politik” bahwa pemerintahan dibawah Jokowi jauh lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

Hasil survei yang positif juga akan membuat militansi, euphoria dan soliditas Parpol pengusung ataupun “underbow” pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin semakin membahana, dan mereka akan memiliki semangat lebih kuat dengan optimisme yang menyala-nyala. (Penulis adalah Otjih Sewandarijatun alumnus Udayana, Bali. Tinggal di Cilangkap, Jakarta Timur)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos