Andi Surya Kritisi Dialog Grondkaart PT KAI

img
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Andi Surya

Harianmomentum.com--Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Lampung Andi Surya mengkritisi narasumber acara dialog bertajuk Ngobrol Tempo yang digelar Hotel Borobudur, Jakarta pada 6 Desember 2018 lalu.

Acara yang diseponsori PT KAI (persero) itu membahas Keabsahaan Grondkaart di Mata Hukum.

Menurut Andi semestinya dialog tersebut menghadirkan narasumber yang punya latar belakang akademik ahli hukum agraria.

"Bicara grondkaart adalah tentang hukum agraria dan keabsahan kepemilikan lahan, maka alangkah baik jika nara sumbernya berlatar ahli hukum agraria.Saya amati tidak satu pun pembicara yang berlatar akademik hukum agraria, justru narasumber-nya seorang profesor ahli sejarah dan budaya, tenaga ahli Kementerian ATR/BPN dan pejabat kepolisian bidang pidana umum," tulis andi melalui rilis pada harianmomentum.com, Kamis (13-12-2018)

Menurut dia, akan lebih berimbang jika dialog tersebut mengundang ahli hukum agraria sekelas: Prof. Ny. Arie Hutagalung (UI), Dr. Kurnia Warman, M. Hum (Unand) dan Yuli Indrawati, SH, LLM (UI) yang pernah menyatakan bahwa grondkaart bukan alas hak kepemilikan. 

Dia melanjutkan, menurut ketiga ahli itu, grondkaart tidak ada aslinya hanya salinan berupa peta penampang rel kereta api. 

"Grondkaart tidak berkekuatan hukum karena tidak pernah dikonversi sesuai perintah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor: 5/1960 dan berstatus lahan negara bebas, dapat dimiliki warga masyarakat," terangnya.

Dia juga menyangkan pendapat pendapat Prof. Djoko Marihandono ahli sejarah dan budaya yang menjadi salah satu narasumber dalam dialog tersebut.

"Pemahaman akan grondkaart harus dimasukkan dalam konteks jamannya (sejarah zaman penjajahan Belanda), bukan dengan interpretasi Undang-Undang saat ini," tulis Andi mengutip  

Menurut Andi, pernyataan ahli sejarah itu tentu akan menimbulkan tafsir hukum bahwa hukum positif Republik Indonesia, antara lain: UUPA, UUKA, PPKA seolah-olah dikalahkan oleh hanya sebuah gambar peta penampang rel KA zaman Belanda yang bernama grondkaart. Padahal lanjut dia,  hukum agraria saja tidak mengakui (grondkaart)  sebagai dokumen absah kepemilikan. 

"Negara kita sudah lama merdeka dan ada Undang-Undang sebagai hukum positif yang berlaku. Logika hukumnya kemana, ketika norma hukum positif tidak ditaati dan terbelenggu sejarah penjajahan Belanda," sebut Andi Surya.

"Dengan mengabai hukum positif sama dengan mengingkari sistem hukum Republik Indonesia, sekaligus mengeliminir hak-hak agraria warga bantaran rel KA se-Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Jawa Timur, di mana rakyat telah mendiami lahan grondkaart hingga tiga generasi," paparnya. (red)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos