MOMENTUM, Jakarta--Kita hidup di era digital dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan menawarkan berbagai kemudahan untuk membantu meringankan pekerjaan. Karena itu, pada era ini setiap orang merasa lebih berinteraksi dan melakukan berbagi pekerjaan.
Meski demikian, kemajuan teknologi yang semakin canggih itu memiliki dampak negatif. Salah satunya, maraknya pelecehan seksual dengan memanfaatkan sarana media online.
Jika dulu pelecehan seksual dilakukan secara langsung oleh para pelaku terhadap korbannya. Kini para pelaku pelecehan seksual mempunyai cara baru, dimana pelecehan seksual dilakukan tidak harus bertemu secara langsung dengan korbannya.Namun, dilakukan melalui jejaring internet atau istilah sekarang disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Berdasarkan catatan Komnas Perempuan KBGO pada tahun 2019 berjumlah 126 kasus sedangkan pada tahun 2020 meningkat menjadi 510 kasus.
Mayer dalam Sri kurnianingsih (2003) menyatakan secara umum ada dua aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan seksual pertama aspek perilaku, kedua aspek situasional.
Berdasarkan aspek perilaku pelecehan seksual sebagai bentuk rayuan seksual yang tidak dikehendaki oleh penerimanya. Adapun bentuk dari pelecehan seksual berupa verbal dan fisik.
Pelecehan seksual secara verbal diantaranya seperti gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak.
Komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dibarengi dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.
Sedangkan yang berbentuk fisik seperti: tatapan yang sugestif terhadap bagian-bagian tubuh (menatap payudara, pinggul atau bagian tubuh yang lain), lirikan yang menggoda dan mengejap-ngejapkan mata, rabahan, cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium, tawaran kencan dengan imbalan promosi atau memojokkan perempuan untuk dicium, proposisi seksual, tekanan yang halus untuk aktivitas seksual, serta usaha perkosaan itu sendiri.
Kemudian berdasarkan aspek situasional pelecehan seksual bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Kasus pelecehan seksual tidak melihat dari ras, agama bahkan jenis kelamin, yang mana hal ini lebih ditekankan pada kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pelecehan seksaul termasuk di ruang digital yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Menurut psikolog Shawn M. Burn Ph.D, yang dikutip dari artikel halodoc.com seseorang yang melakukan pelecehan seksual menganggap dirinya lebih dominan, memiliki kekuasaan, dan menganggap apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang salah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaku pelecehan seksaul melakukan kejahatan tersebut dilakukan secara sadar.
Disinilah sebenarnya peran dari negara untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual.
Sejauh ini perlindungan terhadap korban pelecehan seksual belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, sebab pendekatan yang digunakan terhadap kasus-kasus pelecehan seksual. Terutama yang sifatnya verbal atau pelecehan seksual secara ringan seperti memegang bagian dari tubuh korban meminta mengirimkan foto bagian tubuh tertentu, seringkali diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau berdasarkan kesepakatan.
Kondisi tersebut menyebabkan korban tidak memiliki pilihan lain selain berdamai serta memaafkan, dan pelaku dibebaskan begitu saja.
Padaha, jelas kerugian korban terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual berpengaruh besar terhadap psikologis korban. Sehingga mengakibatkan trauma dan ketakutan yang dialami oleh korban. Persoalan-persoalan yang seperti ini seringkali diabaikan oleh negara sehingga terkesan ada pengabaian terhadap perlindungan korban pelecehan seksual.
Karena itu diperlukan payung hukum yang memberikan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual, sehingga para pelaku pelecehan seksual dapat diberikan hukuman berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana.
Sanksi administratif misalnya pelaku pelecehan seksual membayar segala kerugian yang dialami oleh korban dalam upaya pemulihan pisikologis korban baik secara materi maupun immateri.
Selain dikenakan sanksi administratif pelaku juga dikenakan sanksi pidana berupa kurungan sehingga memberikan efek jera terhadap para pelaku pelecehan seksual.
Selain itu keterlibatan negara dalam mengintervensi kasus pelecehan seksual tidak hanya sebatas pada aspek penindakan akan tetapi juga harus masuk pada aspek pencegahan. Sehingga pelecehan seksual baik secara verbal, fisik maupun berbasis online dapat diminimalisir. (**)
(Penulis: Nabila Rahmah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, Aktivis Peduli Perempuan, Ketua Bidang Internal Kohati HMI Cabang Yogyakarta)
Editor: Harian Momentum