Harianmomentum.com-- Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) soal pengaturan tarif dan badan hukum taksi online. Belakangan terungkap bila Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sebaliknya.
Putusan MK yang terkait yaitu perkara Nomor 78/PUU-XIV/2016 dengan
pemohon 3 sopir Grab. Ketiganya meminta Pasal 139 ayat 4 UU LLAJ dibatalkan.
Pasal itu berbunyi "Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Atas permohonan itu, MK menolak menghapus pasal tersebut pada
Februari 2017. MK berpendapat dengan adanya keharusan berbadan hukum demikian
apabila terjadi sengketa, mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih jelas.
Demikian pula halnya bagi pengguna jasa angkutan online akan menjadi lebih
pasti apabila ada keluhan atau tuntutan yang harus diajukan manakala merasa
dirugikan.
Dengan demikian, telah jelas bagi Mahkamah bahwa kerugian
yang didalilkan telah dialami inkonstitusionalnya norma oleh para Pemohon UU
bukanlah yang disebabkan dimohonkan oleh pengujian, melainkan oleh penerapan
atau implementasi norma di dalam praktik.
Sebelumnya, MA mencabut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak Dalam Trayek. Salah satunya yaitu soal aturan kewajiban badan hukum
yang tertuang dalam Pasal 27 huruf a, yang berbunyi "Untuk memperoleh izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Perusahaan Angkutan Umum wajib
memenuhi persyaratan memiliki paling sedikit 5 (lima) kendaraan yang dibuktikan
dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama badan hukum dan surat tanda
bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor".
Merasa ada ketidakadilan, maka Organisasi Angkutan Darat
(Organda) menggugat keputusan MA itu ke MK. Meurujuk pada putusan MK itu,
Organda meminta MA menghormati dan mentaati putusan MK.
"Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang
yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian
Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat
Mahkamah Agung," kata kuasa hukum Organda, Andi Asrun sebagaimana tertuang
dalam berkas gugatan, Jumat (6/10).
Gugatan itu baru didaftarkan ke MK dengan Nomor
79/PUU-XV/2017. Sementara itu, MK kembali menegaskan jika taksi online wajib
berbadan hukum.
"Dengan rumusan pasal a quo yang menegaskan adanya
keharusan berbadan hukum bagi penyedia jasa angkutan online bukan hanya telah
memberikan kepastian hukum, tetapi juga memberikan perlindungan dari berbagai
aspek, baik kepada penyedia jasa, pengemudi, maupun pengguna jasa angkutan
online," kata Ketua MK Arief Hidayat sebagaimana dikutip dari website MK,
Jumat (6/10).
Pasal yang dimaksud yaitu Pasal 139 ayat 4 UU LLAJ yang
berbunyi "Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan".
Menurut MK, pasal di atas tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum.
"Lagi pula, dengan diaturnya ketentuan tentang penyedia
jasa angkutan online yang harus berbadan hukum, hal itu justru lebih menjamin
hak konstitusional para Pemohon (sopir taksi online-red) atas pekerjaan yang
layak serta hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak dalam hubungan
kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945," putus 9 hakim konstitusi dengan suara bulat.
Sebab, dengan adanya keharusan berbadan hukum. Apabila
terjadi sengketa, mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih jelas.
"Demikian pula halnya bagi pengguna jasa angkutan online
akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau tuntutan yang harus diajukan
manakala merasa dirugikan," demikian bunyi putusan MK. (rmol)
Editor: Harian Momentum