BNPT: Lampung Posisi 4 yang Tinggi Potensi Radikal

img
Abdul Rahman Kadir, Suhardi Alius, Nazaruddin Umar. Foto Humas BNPT

Harianmomentum.com--Perkembangan radikalisme saat ini terus menjangkau setiap sendi kehidupan masyarakat, bahkan tidak ada satu kelompok masyarakatpun yang luput dari bidikan kelompok radikal untuk menyebarkan paham-pahamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui jaringan media sosial yang kian sulit dibendung.

 

Kondisi ISIS di Irak dan Suriah sudah mulai melemah, akan tetapi  harus tetap waspada, karena mereka akan terus berupaya mencari wilayah-wilayah baru untuk melakukan aksi-aksinya. 

Untuk itulah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus bersinergi, berpikir bersama, untuk melakukan upaya-upaya bersama pencegahan terorisme secara terprogram dan berkesinambunga. Salah satunya dengan melakukan penguatan daya tangkal yang sudah dimiliki oleh masyarakat agar tidak terpengaruh paham-paham radikal tersebut 

Begitu disampaikan Kepala BNPT, Komjen Pol. Suhardi Alius, dalam sambutannya saat membuka seminar hasil survei nasional daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi di Indonesia tahun 2017 yang berlangsung di Hotel Millenium, Jakarta, kemarin. 

"Survei nasional ini merupakan dari bagian upaya BNPT dengan memberdayakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ada di 32 provinsi untuk mengetahui kondisi riil masyarakat tentang potensi radikalisme yang ada di masing-masing daerah dan ada lima daerah yang tidak kita duga sebelumnya ternyata potensi radikalnya cukup tinggi," ujar kepala BNPT. 

Lebih lanjut mantan Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas ini menjelaskan, survei nasional ini juga untuk memotret secara lebih dekat, tentang kemampuan masyarakat untuk menangkal perkembangan radikalisme tersebut, agar tidak sampai berkembang di masyarakat. 

Dari hasil survei yang melibatkan sebanyak 9.600 responden ini, kata Suhardi, terlihat sudah cukup memprihatinkan. Apalagi angka yang perlu diwaspadai yaitu angka 58 dari rentang 0-100. Menurut mantan Kadiv Humas Polri ini, yang paling mengemuka dari hasil temuan ini bertumpu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). 

"Kedua kementerian ini harus ikut bertanggung jawab. Kita selesaikan dan diskusikan bersama-sama di forum ini, apa yang mesti kita perbuat, program apa dari Kemendikbud dan Kemenag yang akan kita mainkan khususnya di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Karena hasil survei menujukkan bahwa di tingkat itu yang mudah di brainwash oleh kelompok radikal di media sosial," ujarnya.

Untuk itu menurutnya, BNPT akan membuat tabel mengenai apa peranan dari K/L terkait. "Contohnya apa sih peranan Kemendikbud dan apa peranan Kemenag. Nanti kita bisa secara bersama memberikan treatment yang benar, solusi yang terbaik kalau kita tidak mampu mengidentifikasi dari awal masalahnya. Jadi masing-masing daerah punya treatment yang pas dengan ini," tutur mantan Wakapolda Metro Jaya ini. 

Menurut salah satu anggota Kelompok Ahli BNPT bidang Agama yang turut hadir dalam seminar tersebut, Prof. Nazaruddin Umar,hasil survei ini menarik dikaji karena banyak sekali kejutan. Dalam survei ini karena justru lima wilayah yang tidak pernah disangka sebelumnya menduduki posisi paling tinggi tingkat potensi radikal dan rendah daya tangkalnya di masyarakat. 

"Pertama provinsi Bengkulu angkanya 58,58 persen disusul Gorontalo 58, 48 persen, Sulawesi Selatan 58,42 persen, Lampung 58,38 persen dan Kalimantan Utara  58,30 persen.

 

Malah justru Sulawesi Tengah yang ada Poso justru berada di papan bawah. Jadi ini pertanda bahwa Poso itu sebenarnya masyarakat umumnya tidak radikal, tapi pendatangnya yang akhirnya isu-isu dan fakto-faktor lain membuat Poso teridentifikasi radikal," urai Nazaruddin.

Dengan melihat hasil tersebut, ia menyimpulkan angka di atas 50 persen ini bisa dibilang sebagai warning buat bangsa Indonesia ini dan jangan menganggap sepele. "Kita tidak boleh 'meng-kucing-kan harimau', dan kita tidak boleh 'meng-harimau-kan kucing'. Data data yang ditampilkan ini adalah sangat riil," terang pria kelahiran Bone, 23 Juni 1959 ini.

Mantan wakil menteri agama ini menekankan, sudah saatnya pendekatan dalam penanganan radikalisme terorisme jangan sporadis apalagi parsial. Maksud sporadis itu hanya daerah tertentu yang aktif, tetapi daerah lainnya tidak.  Sedangkan parsial menurutnya masing-masing mau melakukan sesuai bidangnya tanpa mau berkoordinasi. (rmol)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos