Harianmomentum.com--Biner
adalah sistem bilangan basis dua yang penulisannya hanya dengan menggunakan dua
simbol: 0 dan 1.
Sistem biner juga
mempunyai arti penggolongan variabel yang hanya menjadi dua golongan seperti
hitam dan putih, ada dan tidak ada. Meminjam istilah teologis, sistem biner ini
serupa dengan sistem dikotomik.
Tidak hanya dalam
matematika, sistem biner ini ternyata juga mulai terjadi pada perkembangan
politik di Indonesia.
Politik biner di
Indonesia terlihat dari terjadinya polarisasi atau pembagian atas dua bagian
yang berlawanan arah politiknya. Politik biner dalam dinamika politik di
Indonesia sudah terjadi pada Pilkada DKI 2017 yang saat ini masih berlanjut
dalam framing menunju Pilpres 2019.
Politik biner yang
terjadi saat ini cukup mengkhawatirkan. Selain dipisahkan oleh kelompok
pendukung pemerintah dan oposisi, terjadi juga pemisahan menjadi dua bagian
yang mengarah pada identitas yang sensitif.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam media sosial yang menjadi representasi sikap politik sebagian besar
masyarakat, terjadi polarisasi masyarakat dalam dua kelompok. Masing-masing
kelompok mempunyai pandangan tersendiri yang semakin tajam dan bersebrangan
dengan kelompok lainnya.
Bahkan koalisi politik
menuju Pilpres 2019 semakin menegaskan bahwa politik biner di Indonesia semakin
kuat, meskipun baru satu koalisi yang sudah kuat menyatakan sebagai satu
kekuatan.
Polarisasi masyarakat,
jika hanya terjadi karena pandangan politik tentu wajar-wajar saja, dan sah
dalam iklim demokrasi yang harus dijalani. Namun jika polarisasi tersebut
terjadi identitas, seperti SARA maka peluang terjadinya perpecahan dan konflik
horisontal sangat besar.
Jangan sampai terjadi
politik biner yang terjadi di Indonesia saat ini mengulang terjadinya konflik
seperti yang terjadi di saat tumbangnya Orde Baru (1998), Ambon (1999), dan
Sampit (2001).
Politik biner saat ini
hampir sulit untuk dicegah. Bahkan kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu untuk mengkristalisasi basis massa sebagai kekuatan pendukung dalam
Pilpres 2019. Isu-isu sensitif terus dihembuskan, bahkan konten-konten hoax
ditiupkan untuk menggiring masyarakat pada pandangan tertentu.
Titik rawan dalam
politik biner ini harus dipersempit agar tidak menjadi pintu bagi terjadinya
ancaman konflik horisontal. Penyelenggara dan pengawas pemilu di Indonesia
beserta penegak hukum harus tegas penggunaan identitas SARA dalam Pilres 2019.
Meskipun tentu saja identitas
SARA sangat efektif sebagai daya tarik bagi masyarakat untuk
mendukung capres-cawapres yang dianggap mempunyai identitas yang sama.
Kampanye-kampanye yang
mengutamakan persamaan identitas SARA harus dicegah. KPU harus mendorong para
peserta Pilpres untuk melakukan kampanye dengan menggunakan daya tarik program
kerja.
Peserta Pilpres juga
haris memprioritaskan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap
terjaga, termasuk keragaman atau kebhinekaannya.
Polarisasi masyarakat
sebagai implikasi politik biner sudah menguat. Masyarakat yang terbelah oleh
pandangan politik sangat rawan untuk diprovokasi, terutama jika polarisasi
tersebut terjadi karena identitas SARA.
Elit politik yang
menggunakan identitas SARA sebagai daya tarik menggalang massa harus cepat
sadar bahwa hal tersebut menjadi titik rawan bagi terjadinya konflik.
Persatuan dan kesatuan
bangsa adalah hal yang utama yang harus terjadi di Indonesia. Peristiwa politik
seperti Pilpres tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Namun jika para elite
politik masih berorientasi pada tujuan sempit untuk mencapai kekuasaan,
sehingga menggunakan segala cara untuk meraih dukungan, termasuk menggunakan
identitas SARA, maka politik biner yang terjadi di Indonesia bisa menjadi suatu
bencana. (**)
Penulis: Stanislaus
Riyanta, mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
Editor: Harian Momentum