Penyebaran
paham radikal terutama Khilafah di lingkungan perguruan tinggi sesungguhnya
bukan isu baru di Indonesia.
Meski
konsep Khilafah juga diusung oleh sejumlah kelompok lain, namun harus dilihat
bahwa HTI-lah yang sangat masif mempromosikan paham tersebut dan aktif
melakukan rekrutmen dan penggalangan di masyarakat. Sejak awal 1980-an, masuknya Hitzbut Tahrir
ke Indonesia disertai dengan penetrasi ke kalangan menengah perkotaan dan
kelompok terdidik. Kampus kemudian
menjadi target strategis kelompok ini untuk menyebarluaskan paham politik
Khilafah dan memperluas sumber rekrutmen politik untuk mengembangkan
organisasinya. Kiprah HTI di Indonesia
dimotori oleh Abdullah bin Nuh, pemilik
Pesantren Al-Ghazali yang mengajak Abdurahman Al-Bagdadi, seorang
aktivis Hitzbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk
menetap di Bogor guna mengembangkan pendidikan di pesantren miliknya.Hal ini menjadi peluang bagi Abdurahman Al-Bagdadi untuk mengembangkan interaksinya dengan berbagai
komunitas terutama para
aktivis Masjid Al-Ghifari, Institut Pertanian Bogor.Ide-ide khilafah menjadi sentral dari gerakan “dakwah” yang
dilakukan kelompok-kelompok diskusi dan pengajian halaqahyang telah terpengaruh oleh Abdurahman
Al-Bagdadi.
Setelah berhasil
menanamkan pengaruh di lingkungan IPB, HTI segera menyebar dengan memanfaatkan
jaringan kegiatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Ide khilafah HTI kemudian berkembang seperti epidemik, menyusup ke berbagai
perguruan tinggi di Indonesia seperti Universitas
Padjajaran, ITB, IKIP Malang, Unhas, UI, UGM, Unair, ITS dan perguruan tinggi lainnya. Kini, diperkirakan hampir keseluruhan
perguruan tinggi di Indonesia, terutama perguruan tinggi Islam dan PTN terkemuka
telah disusupi oleh para aktivis HTI yang menyamarkan gerakan politiknya dalam
kegiatan dakwah kampus. Cover dakwah ini
membuat HTI leluasa untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin politik
khilafah. Para kelompok muda terdidik di
kampus yang memang dicirikan dengan kehausannya akan ide-ide baru dan keluar
dari mainstream yang telah mapan kemudian segera masuk dalam perangkap
propaganda HTI.
Konsep Khilafah menurut
HTI, merupakankepemimpinan umum bagi kaum
muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.Khilafah adalah institusi politik yang
menggantikan negara nasional dan mempersatukan umat Islam tanpa melihat lagi
batas-batas negara-bangsa (nation
state).Khilafah juga bertugas untuk menerapkan
syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya dalam lingkup negara
Khilafah. Selain itu, Khilafah juga
berfungsi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia dengan menjalankan jihad
fi sabilillah ke negara-negara lain.
Elemen penting yang menjadi fondasi daripada Khilafah ini terletak pada
prinsip kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat; kekuasaan di
tangan umat; mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum
muslimin; dan hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum
syara’, dan Khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap
UU.Ringkasnya, Khilafah adalah otoritas tertinggi dengan kekuasaan yang absolut
dalam negara imperium yang tidak mengenal sekat nation state.
Strategi Penetrasi
Dalam memuluskan tujuan politiknya,
HTI menggunakan tiga
strategi, yakni pembinaan dan pengkaderan (marhalah
al-tatsqif) untuk membentuk inti kepemimpinan; interaksi dengan umat (marhalah tafa’ul ma’a al-ummah) untuk
membangun pengikut loyal; dan pengambilalihan kekuasaan (marhalah istilam al-hukm) untuk merubah pemerintahan.HT/HTI secara
selektif menyasar kelompok masyarakat tertentu sebagai basis rekrutmen
politik.Maraknya paham Khilafah dalam lingkungan perguruan tinggi jelas
merupakan bagian dari operasi politik HTI untuk merekrut dan membina kader dari
kalangan mahasiswa. Keuntungan dari
operasi ini adalah HTI memperoleh klaim untuk menjustifikasi gerakannya sebagai
“gerakan yang intelektual dan ilmiah”, dan di sisi lain memperoleh sumber daya
kader yang memiliki energi dan semangat tinggi untuk merealisasikan tujuan
politik jangka panjang HTI.
Kalangan
mahasiswa memiliki persepsi tentang “noblesse
oblige” atau “kewajiban mulia” yang dapat di manipulasi oleh HTI sebagai
bentuk “Jihad” untuk menerapkan tujuan-tujuan HTI itu sendiri. Kesadaran kelas
di kalangan mahasiswa yang dilingkupi dengan heroisme tentang kelompok
pembaharu, agen of social change,
pejuang kepentingan rakyat, kekuatan kritis, dan sebagainya dieksploitasi
sedemikian rupa oleh HTI dengan melekatkannya pada doktrin politik Khilafah
sebagai landasan ideologis bagi perjuangan mahasiswa selanjutnya. Sehingga
ketika mahasiswa itu selesai dan memasuki ruang pengabdian pada masyarakat,
doktrin Khilafah akan menjadi pedoman untuk berkiprah dalam berbagai
institusi-institusi publik. Dapat
dibayangkan jika lulusan kampus yang telah didoktrin HTI ini mengendalikan
pemerintahan, maka jalan HTI untuk merubah jalannya negara akan semakin mulus.
Sementara
itu, interaksi dengan umat dilakukan HTI dengan menggelar berbagai kegiatan
public expo seperti ceramah, rally, mimbar bebas, diskusi, seminar, symposium,
konferensi, dan sebagainya.Kegiatan ini dikemas dalam isu dakwah dan “intellectual discourse” untuk
menyelubungkan watak politik sesungguhnya HTI.
Kegiatan-kegiatan semacam ini dikemas secara menarik untuk mensugesti
masyarakat dengan cara mengkonfrontir berbagai persoalan kehidupan pribadi dan
masalah kenegaraan dengan konsep-konsep HTI secara sepihak untuk menunjukan
keunggulan konsep HTI sebagai jawaban atas berbagai persoalan kehidupan. Model
one side issue ini apapun bentuk kegiatannya, merupakan hal elementer dari
teknik pencucian otak atau “brain washing” dalam indoktrinasi politik. Tujuannya adalah menciptakan pengikut yang
loyal karena telah tercuci otaknya dan merepresi kesadaran kritis dari massa.
Secara
piawai, para kader HTI yang menyusup ke kelompok muda terdidik ini
mengeksploitasi berbagai kondisi yang melingkupi mahasiswa dan menyodorkan
paham Khilafah sebagai satu-satunya “obat mujarab” yang bisa simsalabim menyembuhkan semua penyakit
dan masalah. Berbagai konsep, kebijakan,
nilai, pranata dan praktek kenegaraan yang ada di Indonesia akan diserang kredibilitasnya
dengan menampilkan apa yang disebut sebagai “fakta-fakta kegagalan” untuk
menunjukan keunggulan konsep Khilafah.
Secara ekplisit, pengusung paham Khilafah ini tidak hanya menantang
realitas kenegaraan yang telah baku dan diwariskan oleh pendiri bangsa, tetapi
juga melekatkan secara stereotype segala aspek di luar ajaran HTI. Karena itu, wajar jika kader-kader HTI selalu
menentang dan menyerang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI
sebagai ancaman eksistensi mereka.
Sebagai
ideologi yang ekstrim, Khilafah ala HTI merupakan produk dari interpretasi
sejarah dan keagamaan yang terdistorsi.Karena itu, pengikut yang militan dan
loyal menjadi sarat penting bagi kelangsungan hidup HTI. Keberadaan kelompok kritis justru akan
menjadi ancaman karena dapat menggoyang cengkeraman politik dan ideologis yang
sesungguhnya penuh dengan patologis dan sama sekali lemah landasan teologis dan
empirisnya.HTI memungkiri fakta tentang keragaman dalam Islam dalam menafsirkan
bentuk pemerintahan dan otoritas politik.Hingga saat ini tidak ada kesepakatan
apapun di antara potensi dalam umat Islam yang secara final dan eksplisit
menyatakan konsep Khilafah ala HTI sebagai satu-satunya formulasi politik dalam
menata pemerintahan dan negara.Begitupula dengan dasar empiris dimana
kekhalifahan yang absolut baik sebagai otoritas politik maupun agama dalam
kekuasaan imperium ala HTI juga tidak pernah dipraktekan dalam sejarah
peradaban politik Islam.
Langkah Antisipasi
Paham
Khilafah ala HTI sebagai suatu konsep politik jika direalisasikan jelas sangat
berbahaya dan dapat membawa petaka bagi Indonesia. Hal ini tidak semata-mata track record HTI sebagai bagian dari HT
yang sarat dengan percobaan kudeta di berbagai negara serta para kadernya
banyak yang terinspirasi menjadi pelaku terorisme, tetapi karena konsekuensi
yang dapat ditimbulkan jika paham tersebut diterapkan. Sebagaimana dinyatakan dalam berbagai
propaganda HTI, Khilafah merupakan otoritas atas segala dimensi, baik agama,
pemerintahan, politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya yang akan
menjalankan syariah Islam. Persoalannya,
sifat absolutism dalam konsepsi Khilafah ini jelas berbahaya dan dalam
sejarahnya seluruh kekuasaan absolut pasti menyimpang. Pepatah klasik mengatakan, power tends to corrupt, absolute power
absolutely corrupts, kekuasaan absolut pasti menyimpang. Hal ini telah menjadi nature daripada kekuasaan yang tanpa kontrol.
Konsep
Khilafah sebagai otoritas absolut yang berada di tangan satu orang yang akan
mengendalikan seluruh umat Islam yang berbeda latar belakang suku, bangsa,
kebudayaan dalam kekuasaan imperium jelas konsep yang penuh dengan kecacatan,
lemah landasan teologisnya dan tidak empiris dalam peradaban Islam. Fitrah manusia yang hidup bersuku-suku,
berbangsa-bangsa akan dihancurkan dengan paham Khilafah. Monopoli interpretasi dan praktek keagamaan
akan disertai dengan represi dan akhirnya dapat menimbulkan perpecahan dan
peperangan antar umat Islam di Indonesia.
Karena itu, sangat mungkin bahwa HTI telah mengeksploitasi isu Khilafah
dan Islam sebagai tak lebih dari sekedar sarana politik untuk membangun
kekuasaan imperium yang hegemonik.
Bukankah HTI juga akan menolak ketika dipaksa dalam konsep Khilafah jika
itu bukan mereka yang usung.
Konsep
Khilafah ala HTI jelas berbahaya baik sebagai gagasan maupun praktek
politik.Kampus dan mahasiswa harus dilindungi dari paparan paham politik
Khilafah yang dilancarkan oleh HTI.Kontra opini dan kontra ideologi harus
dijalankan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan eksistensi
NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Langkah pemerintah melalui para
pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia dengan mendeklarasikan gerakan
pencegahan radikalisme dan paham Khilafah jelas patut diapresiasi dan mendapat
dukungan.Namun demikian, langkah tersebut tidak boleh hanya sekedar ceremonial
semata.Hal-hal baik yang bersifat kebijakan maupun operasional harus
direalisasikan secara efektif.Perlu langkah terpadu dari seluruh pemangku
kepentingan untuk mengambil peranan dalam mencegah penyebaran paham Khilafah di
perguruan tinggi.
Para
pemangku kebijakan di perguruan tinggi harus dapat segera mengidentifikasi
lembaga-lembaga, aktor, serta jaringan dalam kampus yang mempromosikan paham
Khilafah yang bertentangan dengan ideologi negara. Selama ini, kebebasan akademik telah membuat
para pemangku kebijakan di perguruan tinggi akan tanggungjawabnya untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan potensi-potensi mahasiswa yang dapat
mengarah pada kegiatan yang mengancam eksistensi dan kepentingan negara. Kontra opini dan kontra ideologi juga harus
dilakukan dengan membatasi ruang gerak propaganda paham Khilafah dengan
berbagai cover kegiatannya serta mempromosikan nilai-nilai kebangsaan,
pemahaman keagamaan yang moderat, serta mesupport kelompok-kelompok kebangsaan
dan keagamaan yang moderat untuk mengambil peranan dalam public discourse dalam kehidupan kampus. Pendekatan ini penting mengingat mahasiswa
merupakan kelas intelektual terdidik yang penyadarannya tidak dapat dilakukan
tanpa melibatkan pergumulan intelektual.
Oleh : Otjih Sewandarijatun*)
Alumnus Universitas Udayana, Bali.
Editor: Harian Momentum