MOMENTUM, Bandarlampung -- Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII mengapresiasi terhadap upaya penegakan hukum yang dilakukan PTPN I Regional 7. Proses eksekusi terhadap aset negara berupa lahan di Desa Sidosari yang berlangsung pada 31 Desember 2024 sampai 13 Januari 2025 adalah bukti komitmen Perusahaan untuk menjaga wibawa negara sekaligus menyelematkan masyarakat dari kesesatan langkah. Oleh karena itu, SPPN VII mendukung manajemen dan meminta parapihak untuk menjaga muruwah hukum dan kebenaran.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum SPPN VII Sasmika DS Bersama pengurus inti di Bandarlampung, Kamis, 23 Januari 2025. Pernyataan itu disampaikan SPPN VII merespons masih ada beberapa pihak yang berupaya melakukan propaganda dengan menyiarkan potongan-potongan video dan pernyataan-pernyataan dari tokoh yang mengomentari proses hukum di Sidosari akhir-akhir ini.
“Kami sebagai organisasi pekerja PTPN menyatakan Upaya hukum yang dilakukan PTPN I Regional 7 sudah sangat tepat. Semua tahapan dilakukan sesuai prosedur hingga eksekusi. Hukum adalah pilar utama dalam tatanan kita bernegara. Jadi, ini bukan hanya soal penyelematan aset, tetapi menjaga wibawa hukum sekaligus menyelamatkan masyarakat ke jalan yang benar,” kata Sasmika DS didampingi Sekjen Johanes.
Proses hukum yang berjenjang dan berlangsung secara damai dalam menyelamatkan aset seluas 75 hektare dalam HGU No.16/1997 milik PTPN I Regional 7, menurut Sasmika sudah sangat bijak. Terlebih dengan kebijakan manajemen yang memberi bantuan kepada para okupan yang telanjur tertipu mafian tanah, yakni memberi uang kost, menyediakan tukang, mengantar pulang, dan bantuan lainnya adalah aspek yang harus diapresiasi.
“Kalau secara hukum kan putusan itu tanpa syarat. Artinya, PTPN I Regional 7 tidak ada kewajiban hukum untuk memberi berbagai bantuan itu. Tetapi dengan rasa kemanusiaan, mereka masih tetap kita bantu dan kami hormati hak-haknya. Oleh karena itu, kalua masih ada propaganda bahkan memprovokasi pascaeksekusi itu, bahkan dengan narasi negative, kami sangat menyayangkan,” tambah dia.
Secara umum, eksekusi lahan yang saat ini dikelola Unit Kerja Kebun Rejosari itu berlangsung lancer. Beberapa insiden yang terjadi di lapangan, menurut Sasmika, adalah dramatisasi dari beberapa pihak yang berupaya melawan putusan hukum tetapi dengan alas yuridis yang tidak bisa diterima. Ia juga menyayangkan beberapa statemen yang menggunakan dalil-dalil agama tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya.
Sementara itu, Ketua Harian FKPPIB Rafly juga menyatakan hal senada. Organisasi anak-anak karyawan BUMN ini menyebut proses eksekusi sempat diwarnai drama yang telah diskenariokan oleh para penggerak dari kubu mafia tanah.
“Kami ikut mengawal dan menyaksikan langsung bagaimana drama itu dimainkan. Jadi, semua itu sudah diskenariokan sehingga seolah-olah ada kekerasan, ada intimidasi, ada penindasan, bahkan ada tragedy kemanusiaan. Tetapi kami itu ada dalam skenario mereka, termasuk memanfaatkan emak-emak dan anak-anak. Kalau kita Cuma ngeliat potongan-potongan video lalu berkomentar, ya pasti bias,” kata dia.
Ia meminta peristiwa hukum yang sudah berjalan dan berakhir dengan tegaknya keadilan tidak dibawa ke ranah sensitive lain. “Semua pihak punya hak, tetapi sebaiknya tidak usah diseret-seret ke wilayah-wilayah ideologi yang sensitif. Bisa berbahaya untuk stabilitas nasional.” (*)
Editor: Muhammad Furqon