Harianmomentum--Awal tahun 2017, lagi-lagi kita dihebohkan
dengan aksi teror di Cincedo, Bandung, Jawa Barat sekitar pukul 09.00 27
Februari 2017.
Yayat
Cahdiyat alias Dani alias Abu Salam lahir di Purwakarta, Jawabarat (24 Juni
1975), melakukan peledakan bom panci Taman Pandawa kawasan Cicendo, Bandung.
Pelaku sempat bersembunyi di Kantor Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo.
Saat
pengerebekan, Yayat Cahdiyat melontarkan
perkataan menuntut pembebasan teman-temannya yang ditahan Densus 88.
Peristiwa
pembomanm sebelumnya, terjadi diakhir
tahun 2016, dimana Juhanda alias “JO” melakukan pelemparan bom molotov di
Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur sekitar pukul 10.00 Wita pada 13
November 2016 yang menewaskan balita.
Dari
catatan kedua kejadian peledakan bom tersebut, kedua pelaku ternyata pernah
menjalani hukuman dalam tindak pidana terorisme.
Yayat
Cahdiyat pernah ditangkap di Cikampek pada 2011 atas kasus terorisme berupa
mengikuti pelatihan paramiliter di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh, pada awal
2010 dengan hukuman selama 3 tahun (bebas pada 2015).
Sedangkan
Juhanda pernah melakukan tindak pidana yang sama yaitu bom buku, divonis pada
Mei 2011 (bebas pada 2014).
Yayat
Cahdiyat dan Juhanda merupakan residivis dalam kasus teroris, yaitu seseorang
yang pernah dihukum dan mengulang
kejahatan yang serupa.
Kembali
terulangnya kejahatan teroris oleh kedua pelaku tersebut menghadirkan spekulasi
tentang kegagalan proses deradikalisasi lembaga pemasyarakat, diantaranya gagal
menciptakan kesejahteraan.
Persoalan
ekonomi, banyak dikaitkan menjadi penyebab terjadi aksi teroris. Anngota DPR RI
Fadli Zon mengemukan 3 hal penyebab
terorisme di Indonesia (Hukum online.com, 26 Juli 2016: 3 Penyebab Suburnya Aksi
Terorisme di Indonesia),: pertama, faktor domestik,
seperti kemiskinan yang terus membayangi
masyarakat menjadi bagian pemicu terjadinya gerakan aksi terorisme.
Kedua,
faktor internasional, yaitu keterlibatan
pihak luar atau jaringan terorisme internasional.
Ketiga,
faktor kultural, yaitu masih banyak ditemukan orang memiliki pemahaman yang
sempit dalam menterjemahkan nilai-nilai agama yang berkembang di tengah
masyarakat.
Meminjam
istilah faktor kultural dari Fadli Zon, nampaknya kegagalan proses
deradikalisasi adalah gagal merumuskan dan memasukkan pemahaman (insigth) tentang sosial indentitas
sebagai bangsa Indonesia yang multikultural terhadap para narapidana terorisme
dan masyarakat yang berfikiran fundamentalis-radikal.
Para
narapidana terorisme dan kelompok fundamentalis-radikal secara kultural
memiliki kecenderungan etnosentrisme terhadap kelompoknya.
Etnosentrisme
yaitu sebuah pandangan yang memusatkan perhatian pada kelompoknya sendiri dan
menganggap kebudayaan kelompoknya yang paling baik (Sumner).
Orang-orang
yang berpandangan etnosentrisme akan melihat makin besar persamaan kelompok
lain dengan dirinya maka akan semakin dekat, sebaliknya semakin berbeda dalam
kelompoknya makan akan semakin jauh (Porter dan Samovar).
Bahkan
etnosentrisme dapat berupa kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok
sendiri dan berprasangka (prejudice)
terhadap kelompok lain.
Salah satu
cara pandang etnosentrisme dapat ditemukan diantaranya ketika suatu kelompok
dengan mudah mengkafirkan orang atau kelompok lain, bahkan membolehkan orang
kafir untuk dibunuh atau juga menganggap pemerintahan yang dibentuk bukan
dengan sistem khilafah adalah togut (berhala).
Etnosentrisme
yang berlebihan, akan dapat mendorong perilaku agresif terhadap orang atau
kelompok yang lain yang dianggap berbeda meskipun kelompok lain tidak menyerang
atau memerangi kelompoknya.
Peristiwa
pemboman Cicendo dan pemboman Gereja Oikumene menggambarkan masih kuatnya
fenomena etnosentrisme, sehingga mendorong perilaku radikal dengan melakukan
pemboman.
Mereka
seolah lupa bahwa perbedaaan antar golongan sudah kehendak Tuhan, manusia
diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal.
Mungkin
juga lupa bahwa Tuhan menjanjikan surga bagi orang-orang yang tidak ada dendam
dihatinya, tidak ada kebencian dihatinya dan tidak ada amarah dihatinya.
Bagaimana
mungkin matinya seseorang akan mendapatkan surga kalau matinya karena menyerang
orang lain, bukan mati karena mempertahankan diri dari serangan pihak lain.
Pengetahuan
dan pemahaman tentang perbedaaan agama yang satu dengan agama yang lain atau
antar golongan yang sati dengan golongan yang lain semestinya mendorong setiap
orang untuk bisa menerima keberagaman, sehingga bisa saling menghargai dan
menghormati keberagaman yang ada.
Banyak
pemahaman yang diajarkan Tuhan agar orang-orang yang bisa menerima keberagaman
adalah orang-orang berfikir pluralistik.
Sifat
pluralistik akan mengarahkan seseorang menerima perbedaan dan tidak menyalahkan
keyakinan orang / kelompok lain serta tidak memaksakan orang lain untuk
mengikuti keyakinanya.
Pluralistik bukan berarti pluralisme, pluralisme adalah
suatu paham yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi.
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu
sama lain dalam suatu asimilasi tanpa konflik.
Pluralistik mengajarkan
orang bisa toleran terhadap perbedaan, bahkan menyadari adanya perbedaan antar
kelompok dan memberikan kebebasan masing-masing kelompok menjalankan sesuatu
sesuai keyakinan kelompoknya sepanjang tidak bersinggungan dengan kelompok
lain.
Kehidupan sosial Indonesia
diwarnai dengan munculnya berbagai kelompok karena perbedaan keyakinan terhadap
Tuhan (Tauhid), perbedaan politik (sistem pemerintahan), perbedaan cara
beribadah, perbedaan budaya dan sebagainya.
Kegagalan merumuskan
identitas sosial dan instrumen berperilaku dalam hubungan sosial akan menjerat
bangsa Indonesia kedalam etnosentrisme yang memicu perilaku teror, permusuhan
dan konflik.
Setiap elit baik elit
politik, elit agama, elit pemerintahan dan lain-lain memiliki tanggungjawab
untuk menjadi role model, dalam
membangun identitas sosial.
Ajaran-ajaran kasih sayang
antar kelompok, atau ajaran setiap orang menjadi pemberi rahmat bagi semesta
alam dalam hubungan sosial yang mampu dirumuskan dan diajarkan dalam setiap
identitas sosial masyarakat akan mampu menekan sikap permusuhan dan peperangan.
Aamiin.(**)
Editor: Momentum