MOMENTUM, Gedongtataan-- Satu tahanan Polres Pesawaran tewas secara mendadak pada 27 Juli 2025 lalu di klinik GMC, Desa Tamansari, Kecamatan Gedongtataan.
Tahanan yang diketahui bernama Edo Januar (26) itu mulanya ditangkap oleh aparat kepolisian pada 5 Mei 2025 di Kecamatan Negerikaton atas dugaan penyalahgunaan narkotika.
Namun pada 27 Juli 2025, Edo dikabarkan meninggal dunia secara mendadak. Meninggalnya Edo menimbulkan tanda tanya, kenapa pemuda yang masih berstatus tahanan dan berada di kawasan Polres Pesawaran itu tiba-tiba tewas?.
Setelah Edo meninggal mendadak, keluarga korban menaruh curiga kepada aparat Kepolisian Resor (Polres) Pesawaran, dan mencium kejanggalan dalam kronologi kematian tahanan Edo.
Sebab, Edo tidak pernah punya riwayat penyakit tertentu. Keluarga tahanan mempertanyakan kepada kepolisian setempat penyebab meninggalnya korban.
Berdasarkan penelusuran, Edi Sudarso, orang tua korban yang meninggal dunia mengungkap, anaknya ditangkap oleh anggota Polres Pesawaran di Kecamatan Negerikaton, padahal anaknya sedang dalam program rehabilitasi BNN.
“Sudah beberapa minggu tidak pernah keluar rumah karena masih dalam masa rehab BNN, namun hari itu sekitar pukul 12.00 siang, anak saya tiba-tiba dikirim pesan oleh kawannya diajak keluar, dan membawa handphone saya ini,” terang Edi, Selasa (12-8-2025).
Orang tua korban juga mengatakan, berdasarkan keterangan korban, saat itu dia bersama temannya membeli narkotika, setelah membeli tiba-tiba ada polisi yang menangkap keduanya.
“Anak saya sudah bilang kepada polisi, kalau kami ditangkap, tangkap juga bandarnya, kemudian ada polisi yang bilang udah gak ada bandarnya, akhirnya anak saya dan kawannya dibawa ke Mapolres Pesawaran,” katanya.
Setelah anaknya diamankan ke Mapolres Pesawaran, dia diberikan informasi kalau anaknya ditangkap karena kasus narkoba. Mendapat kabar itu, Edi pun langsung bergegas menjenguk anaknya. Namun, setibanya di sana, justru dia dimintai uang oleh aparat kepolisian untuk membebaskan anaknya.
“Saat saya di Mapolres Pesawaran, ada polisi yang mendatangi saya dan meminta uang sejumlah Rp50 juta untuk membebaskan anak dan temannya tersebut,” ungkapnya.
Namun, karena Edi merasa tidak memiliki uang sejumlah yang diminta, maka dia tidak menyanggupi. Dia saat itu bilang, hanya punya uang sebanyak dua juta. Polisi pun menghardik, dengan menyebut ayah korban tidak peduli dengan anaknya.
Tak berhenti di situ, Edi juga menjelaskan, setelah dia pulang ke rumah, kakak dari kawan anaknya yang tertangkap, kembali dihubungi oleh polisi, dan meminta uang tebusan senilai Rp30 juta untuk mengurus keduanya.
“Saya juga gak tau, kenapa mereka yang mengejar kami, karena kami ini gak ada uang akhirnya kami tidak bisa menyanggupi permintaan dari pihak kepolisian tersebut,” terangnya.
Kemudian, Edi menuturkan, pada tanggal 27 Juli 2025, pihak keluarga mendapatkan informasi dari kepolisian, kalau anaknya sedang sakit dan orang tua diminta untuk hadir ke GMC.
“Saat saya sampai di GMC, saya langsung dikerubuni oleh polisi, sembari mereka bertanya: bapaknya udah tau belum, anaknya punya riwayat penyakit apa jantung ya pak?, kemudian saya jawab anak saya dari kecil sampai dengan saat ini tidak ada riwayat penyakit apa-apa pak,” tuturnya.
Tiba-tiba ada polisi yang mendatangi dia, dan mengatakan anak saya sudah meninggal dunia, lalu saat di dalam mobil ambulance dia disuruh tanda tangan oleh polisi. "Karena saya sudah kalut dan kondisi remang-remang saya tidak membaca surat tersebut dan akhirnya saya tanda tangan,” katanya.
Menurut Edi, pada malam ketujuh hari meninggal anaknya, polisi kembali mendatangi rumahnya, dan membawa surat pernyataan yang berisi narasi tidak akan menuntut atas kejadian yang menimpa anaknya.
“Saya sudah bilang kepada polisi itu, kalau memang anak saya meninggal dunia beneran karena sakit saya ikhlas, tapi kalau ada hal-hal diluar dari sakit pasti saya akan mencari kebenaran tentang kematian anak saya. Karena dalam surat pernyataan itu tidak dijelaskan kronologis lengkapnya anak saya meninggal dunia tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Supratikno Kepala Pekon Sidoharjo, Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu mengatakan, sejak awal penangkapan sampai dengan pemulangan jenazah pihak desa tidak diberitahukan.
“Mungkin kalau SOP nya harus ada pemberitahuan, tapi pada kenyataannya tidak ada satupun pemberitahuan, mulai saat ditangkap maupun saat pemulangan jenazah. Saya hadir itu karena saya selaku kepala desa ada warganya meninggal tentunya saya harus hadir dong,” katanya.
“Saya juga menyayangkan, sikap kepolisian yang tidak ada tembusan ke kami selaku pemerintah di tingkat desa, jalankan lah prosedur yang semestinya, jangan ujuk-ujuk ditangkap, lalu berselang beberapa bulan warga saya dikembalikan sudah tidak bernyawa,” katanya.
Menanggapinya, Kapolres Pesawaran AKBP. Heri Sulistyo Nugroho saat dikonfirmasi melalui sambungan teleponnya hanya menjawab dengan pesan whatsappnya.
"Saya masih dipolda pak sedang rakor dipolda, ada yg bisa dibantu untuk dikomunikasikan dengan kasat terkait. Boleh saya bantu biar kasat terkait yg menghubungi jika ada informasi yg diperlukan," katanya melalui pesan WhatsApp.
AKBP. Heri juga mengeluhkan badan yang tidak sehat dan mempersilahkan wartawan menghubungi Kasat Reskrim Polres Pesawaran.
"Saya lagi kurang enak badan nih, jika ada hal urgent terkait informasi reskrim misalnya atau penanganan perkara, boleh bang saya ijinkan utk konfirmasi langsung ke kasat reskrim, nanti Kasat saya minta untuk hubungi," pungkasnya.(**)
Editor: Agus Setyawan