Harianmomentum-- Perpidahan Ibukota negara sudah menjadi wacana publik yang
telah dibahasa oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia semenjak dahulu kala,
namun demikian isu tersebut muncul kembali setelah adanya pernyataan dari
Presiden RI terkait hal tersebut.
Pemindahan ibu kota
negara dari kota Jakarta ke kota lainnya menarik untuk diperdebatkan atau
dibahas, permasalahannya adalah dimanakah akan dipindahkan nantinya. Isu
pemindahan ibu kota pada tahun 2007 bahwa DKI Jakarta sebagai ibu kota negara
Indonesia memiliki berbagai landasan yaitu fillosopis karena keamanan dan
keadilan, serta aspek sosiologis karena situasi masyarakat sesuai untuk dipindahkan
ke ibu kota Jakarta.
Ada beberapa daerah yang
potensial dijadikan Ibukota negara seperti Sulawesi Selatan misalnya yang
dinyatakan sebagai peradaban di timur paling beragam kebudayaan sehingga harus
menjadi teladan, tetapi berdasarkan hasil beberapa studi terdapat problem
sebagai negara yang paling banyak menampung pelarian imigran. Ibukota negara
harus memiliki kriteria seperti sumber daya manusia, sedangkan di Sulawesi
Selatan paling tepat untuk di tempatkan sebagai ibukota negara tapi perpindahan
ibu kota negara tidak gampang seperti membalikan telapak tangan.
Banyak kalangan menilai,
kemungkinan 80 persen jika ibukota negara dipindahkan dari DKI Jakarta maka
akan berubah menjadi negara seperti Singapura, maka negara kita akan mejadi
negara serikat. Jika ibukota dipindahkan, permasalahan yang muncul menyangkut
permasalahan infrastruktur dan bagaimana model pengaturan nantinya, termasuk
jika pemindahan ibukota dilakukan maka perubahan tatanan yang sangat luar
biasa.
Masa pertumbuhan ibukota
dibuat dalam 1 tatanan yang dipergunakan bahwa terdapat kemungkinan kemungkinan
jika dipindahkan. Diantara propinsi yang ada di Indonesia harus terdapat
wilayah yang sesuai dengan kriterianya dan syarat untuk menjadi ibukota negara.
Perpindahan ibu kota ke
kota lain dapat dijadikan sebagai komunitas politik dengan adanya isu
perpindahan tetap akan menjadi komunitas politik sampai 2019 dimana harus
terdapat kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Beberapa presiden seperti
Soekarno pernah menginginkan ibu kota baru kemudian selanjutnya Susilo Bambang
Yudhoyono dan Joko Widodo, namun hingga saat ini tidak pernah terlaksana.
Adanya wacana
perpindahan ibukota negara dapat dijadikan sebagai isu dan komoditas politik
dalam mendulang suara khususnya pada pelaksanaan Pilgub 2018 ataupun Pileg dan
Pilpres 2019 mendatang, dimana isu perpindahan ibukota negara belum mendapatkan
respons dan kajian dari pemerintahan pusat, namun demikian beberapa elemen
masyarakat di Sulawesi Selatan misalnya sangat gencar melakukan kajian dan
sosialisasi dalam perpindahan ibukota negara tersebut.
Belajar
dari negara lain
Wacana pemindahan ibu kota, Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya terus
menyeruak. Bahkan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/Bappenas), tengah mengkaji rencana ini. Pemindahan ibu kota sebenarnya
bukan ide baru. Sudah ada sedari era pemerintahan Presiden Soekarno.
Indonesia pun jika jadi
memindahkan ibu kota, akan menngikuti langkah dari beberapa negara
lain.Namun, tidak semua kebijakan pemindahan ibu kota berakhir manis. Ada pula
negara yang harus menerima kenyataan bahwa keputusan tersebut salah langkah.
Ibu kota yang digadang-gadang jadi metropolitan baru bahkan kosong melompong
mirip 'kota hantu'.
Pelajaran dari Nigeria. Dahulunya, ibukota
Nigeria terletak di Lagos. Namun, pada 1991 pemerintah negara dengan ekonomi
terbesar di Afrika ini memutuskan memindahkan pusat pemerintahannya, ke Abuja.
Posisi Abuja cukup jauh dari Lagos. Jaraknya sampai 482 kilometer dari arah
Timur Laut ibukota lama itu. Pemindahan ini relatif berbuah manis. Permasalahan
yang menimpa Nigeria seperti kepadatan penduduk yang hanya terjadi di Lagos
serta pemerataan ekonomi satu per satu mulai bisa diselesaikan Nigeria.
Pelajaran
dari Myanmar atau Burma.
Pemindahan ibukota Myanmar, dari Yangoon ke Naypyidaw disebut-sebut sebagai
peristiwa paling unik dalam sejarah. Keputusan yang diambil pada November 2005
ini didasari keputusan pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe. Tidak ada
penjelasan sama sekali mengapa ibu kota harus pindah. Banyak yang menuduh
perpindahan itu adalah gagasan egois Jenderal Than Shwe. Dugaan yang paling
nyeleneh dan dinilai tak masuk logika, pemindahan dikarenakan ramalan dari
dunia mistik yang membuat Than ketakutan.
Ramalan itu menyebutkan bahwa kekuasaan sang
Jenderal tinggal sejengkal. Bintangnya segera meredup dan nyaris padam pada
April 2006. Saat pertama kali ibukota dipindahkan, para pegawai negeri dan
militer Myanmar, itu bak tinggal di pengungsian. Menetap di bangunan yang belum
rampung, tanpa air bersih dan listrik seperti di kota Yangoon. Hidup serba
susah, kurang gizi, di tengah hutan pula, membuat mereka jadi sasaran empuk
serdadu hutan Myanmar yang amat berbahaya: nyamuk malaria. Banyak yang
menyerah, tapi tak kuasa kabur dari kota itu. Seperti dikutip dari Guardian, situasi pada
2016 lalu tak banyak berubah.
Naypyidaw mempunyai fasilitas relatif
lengkap: jalan tol lebar, tempat main golf, kebun binatang yang dilengkapi AC
untuk para penguin, akses Wi-Fi cepat, dan aliran listrik yang lantar tanpa
byarpet. Yang tidak dipunyai kota itu hanya satu: penduduk yang dinamis. Dengan
luas 4.800 km persegi atau empat kali ukuran Kota New York, Naypyidaw relatif
kosong. Data resmi menyebut, penduduk di sana mencapai 1 juta jiwa, namun diragukan
karena jalanan sunyi, restoran dan lobi hotel nyaris kosong.
Pelajaran dari Brazil. Pada 1960, Presiden Brasil saat itu,
Juscelino Kubitschek membuat keputuan besar. Ibu kota dipindah dari Rio de
Janeiro ke Brasilia. Alasan utama pemindahan itu untuk mengembangkan wilayah
pedesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran
penduduk dan pendapatan.
Pada masa awal, pemerintah begitu susah
memindahkan organ-organ pemerintahan. Tahun 2010 lalu, Brasilia memperingati 50
tahun sejarahnya menjadi ibu kota. Meski memiliki sejumlah bangunan yang
spektakuler yang mendapat pengakuan UNESCO sejak dinobatkan sebagai pusat
pemerintahan Brasilia bagai kota 'tanpa jiwa'.
Pelajaran
dari Tanzania.
Negara yang terletak di Afrika ini ibukotanya sempat berlokasi di Dodoma. Walau
kota utama, nyatanya kehidupan di Dodoma jalan di tempat tidak ada perkembangan
berarti yang terjadi. Yang riuh dan meriah justru kota Dar es Salaam. Kota
tersebut jauhnya 450 kilometer dari Dodoma. Keputusan pemindahan akhirnya
diambil pada era 1970-an. Tapi sampai sekarang, transisi masih belum sepenuhnya
dilakukan. Majelis Nasional Tanzania tetap berada di Dodoma. Sementara seluruh
kedutaan asing dan kantor pemerintah telah berada di Dar es Salaam.
Pelajaran
dari Kazakhstan.
Kazakhstan merupakan satu negara yang paling muda di dunia. Ia berdiri setelah
Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an. Awalnya, ibu kota Kazakhstan adalah
Almaty. Namun, Desember 1997, mereka memidahnya ke bagian utara negara
tersebut, tepatnya di Kota Astana. Alasan yang diambil pemerintah adalah Almaty
sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Kota ini juga rentan terhadap gempa.
Selain itu, dasar lain yang jadi
pertimbangan, Almaty letaknya sangat dekat dengan negara baru pecahan Uni
Soviet lain. Ditakutkan bila ada turbulensi politik di negara-negara tersebut
maka bisa menular ke dalam Kazakhtsan. Keputusan tersebut ternyata tepat.
Sampai sekarang Kazakhstan merupakan negara sangat berkembang dan salah satu
pusat ekonomi terbesar di kawasan Asia Tengah.
Pelajaran
dari Malaysia.
Tidak bisa dipungkiri, sama seperti ibukota negara di Asia Tenggara lain, Kuala
Lumpur harus berhadapan dengan masalah kemacetan dan kepadatan penduduk. Pada
1999, Pemerintah Malaysia mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan ke
Putrajaya. Putrajaya merupakan sebuah kota baru dan mandiri. Letaknya berada di
Selatan Kuala Lumpur dan tak jauh dari sana.
Kantor Perdana Menteri dipindahkan ke
Putrajaya. Namun, tidak demikian dengan Gedung Parlemen dan pusat perekonomian
tetap berada di Kuala Lumpur.
Bagaimana
dengan Jakarta?
Sebenarnya,
Jakarta saat ini adalah miniatur Indonesia. Oleh karena itu, miniatur ini akan
terasa kehilangan jika Jakarta bukan lagi sebagai ibukota Indonesia. Yang perlu
diatur di Jakarta adalah bagaimana ketahanan pangan, ketahanan energi dan
suplai air bersih di Jakarta tetap tersedia ketika daerah-daerah disekitarnya
juga semakin berat tantangannya.
Jika pembangunan infrastruktur berjalan
dengan baik dan terjadi koneksi antar wilayah di Indonesia, maka pemindahan
ibukota tidak perlu dilakukan karena pertumbuhan ekonomi yang membaik di
daerah, akan membuat orang enggan tinggal di Jakarta, sehingga Jakarta dapat
lebih “hidup sehat dan segar”.
Pemindahan ibukota haruslah dilihat ada tidak
perspektif ancaman terhadap ibukota tersebut. Sebaiknya, pemindahan ibukota
dengan tujuan yang positif seperti untuk mengembangkan wilayah pedesaan yang
terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk dan
pendapatan, termasuk mengantisipasi tantangan dan ancaman masa depan. Indonesia
dengan Jakartanya masih dapat mengatasi berbagai persoalan tersebut. Jadi
jangan buru-buru dipindahkan.(*)
Editor: Harian Momentum