Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Siasat?

img
Dr. Wendy Melfa - Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem).

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses yang diawali dari pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu, dan berakhir sampai penetapan hasil Pemilu dan pelantikan pejabat terpilih hasil Pemilu. 

Saat proses penghitungan hasil pemungutan suara 14 Februari belum tuntas, telah hadir wacana hak angket yang seakan menambah dinamika baru Pilpres 2024. Alih-alih pascapemungutan suara dan tersajinya berbagai hasil hitung cepat (Quick Count/ QC) beragam lembaga survei menurunkan tensi politik, hadirnya wacana hak angket justru menambah hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia.

Hak angket dipahami sebagai hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berimplikasi luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangan. 

Pengertian tersebut dapat dikonstruksikan hak angket itu terdiri dari; (1) DPR yang merupakan lembaga politik, yang didalamnya terdiri dari domain kewenangan dari anggota DPR RI, Fraksi-Fraksi, dan Partai-Partai Politik yang ada pada parlemen, 

(2) kewenangan untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berimplikasi luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, 

(3) sesuatu yang diduga bertentangan dengan UU.  Secara filosofi, penggunaan hak angket juga dapat berfungsi sebagai instrumen checks and balance dalam sistem demokrasi Presidensial yang berlaku di Indonesia.  

Solusi Hukum atau Siasat Politik

Menurut catatan penulis, penggunaan hak angket bukanlah hal baru dalam perjalanan politik dan ketatanegaraan Indonesia. Pertama kali hak angket digulirkan tahun 1950 era Presiden Soekarno (Orde Lama). 

Kala itu DPR didorong menggunakan hak angket untuk menyelidiki untung rugi penggunaan devisa oleh pemerintah berdasarkan UU Pengawasan Devisen 1940. Penggunaan hak itu kandas berujung tidak jelas. Pada era Presiden Soeharto (Orde Baru) juga digulirkan hak angket yang diinisiasi oleh Fraksi PDI dan PPP, namun kemudian mendapat penolakan di sidang DPR selanjutnya. 

Pada Era Reformasi ketika Presiden Gus Dur pasca dikeluarkannya dekrit pembubaran parlemen, digulirkan hak angket atas permasalahan Buloggate dan Bruneigate. Pada era ini dilanjutkan dengan penggunaan hak interpelasi yang berujung pada pelengseran Presiden Gus Dur dan digantikan oleh Presiden Megawati. 

Pun ketika era Presiden Megawati, DPR sempat menggulirkan hak angket terkait kerugian negara sebesar 40 miliar pada kasus nonbujeter Bulog. Begitu juga di era Presiden SBY, hak angket pernah digulirkan DPR dalam permasalahan penjualan kapal tanker Pertamina, kasus DPT Pemilu 2009, dan hak angket Century. Hak angket terakhir digulirkan DPR pada era Presiden Jokowi dalam kasus KPK dalam kaitan dengan kasus KTP elektronik yang berujung sejumlah Fraksi menolak hak angket kepada KPK.

Dari sejumlah catatan riwayat penggunaan hak angket DPR dalam sejarah politik dan tatanegara Indonesia terilustrasikan digunakan sebagai gerakan langkah politik untuk melihat dan menyelidiki suatu yang dianggap sebagai permasalahan bangsa. Meski tidak semua penggunaan hak angket itu kandas dan menjadi solusi atas permasalahan bangsa sebagaimana dijadikan landasan hak angket itu sendiri.

Hak angket yang diwacanakan berkaitan dengan Pilpres 2024 muncul sebagai ekspresi dan tidak puasan Capres Ganjar Pranowo (03) yang diusung PDIP dan mitra koalisinya atas proses penyelenggaraan dan hasil penghitungan suara (QC), anomali, sirekap, penggunaan server KPU dll. 

Wacana ini belum menjadi sikap resmi dari fraksi ataupun partai-partai yang ada di DPR. Tentu saja sikap resmi Partai/ Fraksi pada saatnya akan sangat berkaitan dengan seberapa besar kekuatan antara penggagas maupun yang diperkirakan akan menolak hak angket yang akan diajukan tersebut. 

Tentu saja hal ini akan sangat berkaitan dengan penggunaan kewenangan DPR yang penentuannya diukur dari kekuatan seberapa banyak penggunaan kewenangan itu bisa berjalan.

Di samping pola kekuatan Fraksi/ Partai yang akan sangat menentukan, hal lain yang harus dijadikan landasan adalah, apakah yang dipersoalkan dalam penggunaan hak angket itu sendiri adalah sesuatu yang nyata-nyata dirasakan bertentangan dengan UU. Menurut UUD 1945 salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memeriksa dan memutus perselisihan dari hasil pemilihan umum. 

Selanjutnya menurut UU Pemilu, berkaitan dengan dugaan proses penyelenggaraan Pemilu yang tidak berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. Maka mekanismenya, diperiksa dan diputuskan oleh Bawaslu. Bila terdapat unsur hukum pidana didalamnya,  penyelesaiannya melalui Gakumdu dan diperiksa serta diputus oleh Peradilan Umum. 

Melalui pengaturan UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada MK dan UU Pemilu, sesungguhnya problem ke-Pemilu-an apakah pada tingkatan proses penyelenggaraan atau persoalan hasil Pemilu, sesungguhnya hukum sudah memberikan ruang yang konstitusional dan sesuai hukum sebagai sarana penal dan non penal dalam menyelesaikan sengketa Pemilu sebagai solusinya. 

Bukankah atas berbagai temuan proses penyelenggaraan Pemilu yang berjalan tidak sesuai hukum, juga sudah dilakukan “tindakan”, diantaranya ada sejumlah PSU (pemungutan suara ulang) pada beberapa TPS dan lain sebagainya.

Ada banyak unsur dan pertimbangan yang harus dipersiapkan secara “matang” oleh siapapun yang akan menggulirkan penggunaan hak angket dalam kaitan dengan persoalan ini, disamping hukum sudah menyediakan saluran penyelesaian atas permasalahan pokok penyelidikan. Juga menghitung proses dan mekanisme persidangan di DPR yang tentu berdampak pada keabsahan keputusan atas tahapan persidangan diinternal DPR. 

Hal itu patut dipertimbangkan karena segala proses melalui jalan apapun yang ditempuh dalam kaitannya permasalahan Pilpres 2024, harus berakhir sebelum tanggal 20 Oktober 2024, waktu Presiden hasil Pemilu 2024 dilantik dan memimpin pemerintahan Indonesia berikutnya.

Nampaknya penggagas hak angket juga akan berhadapan dengan sebuah kenyataan. Apakah gagasan hak angket DPR dalam permasalahan Pilpres 2024 yang akan “diajukan” dipersepsikan sebagai upaya untuk mencari solusi atas sesuatu yang dianggap sebagai permasalahan pada Pemilu 2024. Atau hanya sebagai “siasat” politik yang hanya diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan dirinya sebagai penggagas hak angket DPR. Namun nanti pada saatnya, rakyat pun akan mengetahui dan menilainya. 

Apapun langkah dan skenario politik yang mewarnai Pemilu 2024, baik itu sebelum maupun setelah pemungutan suara, kita ikhtiarkan sebagai bagian dari pembelajaran dan pematangan pembangunan politik dan demokrasi Indonesia, baik atau buruknya hal itu, kita menjadi bagian yang terlibat di dalamnya, dan sejarah akan mencatat itu. (*) 

Oleh Dr. Wendy Melfa - Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem)






Editor: Muhammad Furqon





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos