Harianmomentum.com--Banyak isu ekonomi dan isu politik yang berseliweran di Indonesia mulai dari turunnya harga kelapa sawit dan karet termasuk bawang putih di beberapa daerah, hilangnya atau langkanya LPG di beberapa daerah, dan terakhir beredar rumors atau isu bahwa PT Krakatau Steel dikabarkan telah bangkrut, bahkan beberapa anak perusahaannya juga mengalami nasib yang sama.
“Perusahaan raksasa” tersebut menurut rumorsnya telah lama tidak berproduksi, karyawannya banyak yang dirumahkan karena permasalahannya adalah kebutuhan baja untuk pembangunan infrastruktur yang gencar dilaksanakan saat ini, seluruhnya diimpor dari Tiongkok yang menjadi investor dari banyaknya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Bahkan, rumorsnya, “perusahaan raksasa” ini sengaja dibangkrutkan untuk suatu saat dibeli oleh pihak asing, termasuk kemungkinan negara ini akan masuk dalam “jebakan utang luar negeri” yang mendalami dan kemungkinan gagal bayar sehingga negara ini juga dibangkrutkan. Demikian rumors yang berkembang di masyarakat.
Namun yang menarik adalah rumors di bidang politik terutama terkait dengan persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak pihak melihat dengan agak kurang percaya dengan ketidakprofesionalan KPU dimana di saat persidangan MK, sebagai pihak terkait/termohon(KPU) melalui Ketua KPU Arief Budiman ketika berargumen untuk meminta waktu perbaikan, karena tidak mampu mendatangkan anggota saksi KPU dari Surabaya pada 17 Juni 2019, dengan alasan tiket pesawat susah didapat pada Sabtu-Minggu. Dan dengan kebaikan hati para hakim MK, setelah mendengarkan argument Ketua KPU RI akhirnya memudurkan jadwal sidang dari 17 Juni ke 18 Juni 2019.
Meskipun demikian, opini dan rumors yang berkembang di masyarakat atas argumen Ketua KPU tersebut menilai bahwa KPU tampak tidak profesional dan ketakutan/tidak kredibel, dan masyarakat terkesan mempertanyakan dan meragukan kredibilitas KPU, setelah selama pelaksanaan sidang MK, sangat terlihat ketidaksiapannya menjadi penyelenggara yang profesional, karena mengurusi tiket saja sudah kerepotan, padahal Pemilu 2019 adalah urusan negara, sehingga dengan alasan tersebut akan mudah KPU mendapat tiket bahkan mengangkut logistiknya ke MK.
Masyarakat terutama komunitas praktisi hukum menilai bahwa penegakkan hukum di Indonesia semakin tidak jelas, sebab penafsir satu-satunya terhadap UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi sesuai mandat konstitusi, namun dalam persidangan di MK terlihat jelas jika Bawaslu dan KPU melalui kuasa hukumnya ikut-ikutan menafsir dan bahkan memproduksi UU turunannnya berdasarkan selera dan subjektifitas mereka, sehingga terkesan menguntungkan salah satu Paslon.
Sejauh ini, masyarakat masih tetap percaya dengan 9 hakim MK yang tampaknya dalam persidangan pertama cukup netral dan tidak kaku, terlihat dari perubahan isi permohonan gugatan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga yang belum teregistrasi di MK tidak dipersoalkan oleh Majelis Hakim MK, walaupun diakui atau tidak perubahan isi permohonan gugatan Paslon 02 jelas akan membuat pihak termohon (KPU dan Bawaslu) serta pihak terkait (Paslon 01) kelabakan, terlihat dari argumen atau usulan Yusril Ihza Mahendra yang terkesan “mendesak” MK agar hanya menerima materi gugatan Paslon 02 tertanggal 24 Mei 2019 yang sudah diregistrasi Panitera MK yang akan dibahas dalam sidang-sidang berikutnya, namun untungnya dengan pertolongan Alloh SWT, majelis hakim MK menyatakan isi gugatan dari kuasa hukum 02 dianggap sah adalah apa yang dibacakan di depan pengadilan, dimana kita menangkap kesan jawaban atau respons dari majelis hakim MK diluar perkiraan tim kuasa hukum Paslon 01.
Bagaimanapun juga, sikap majelis hakim MK termasuk hakim-hakim di era digital sekarang ini harus netral, tidak kaku dan mengakomodasi perkembangan dinamika yang ada di masyarakat, karena keputusan MK akan sangat menentukan masa depan bangsa dan terjaganya keadilan hukum di Indonesia.(*)
Oleh : Amanda. Pemerhati masalah isu-isu politik dan ekonomi di Indonesia.
Editor: Harian Momentum