MOMENTUM, Jakarta--Kita tentu kerap melihat para politisi yang ketika kampanye menyampaikan janjinya tampak berbusa – busa diatas panggung, namun faktanya mereka belum tentu bisa menepati janji kampanyenya jika menang dalam pemilu. Jangankan menepati janji, tidak tidur ketika sidang parlemen saja hal itu sudah menjadi prestasi.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa sebagian elit politik bukanlah teladan yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka begitu tega mengadu-domba dan mempermainkan dukungan rakyat, memanipulasi serta merancukan urusan kenegaraan demi ambisi pribadi.
Mereka bisa saja dengan mudahnya membonceng politik demi bisnis keluarga, memainkan sentimen identitas dan melakukan pencitraan yang terlihat absurd. Karakteristik yang seperti itu tentu melahirkan demokrasi semu, sehingga secara prosedural seolah – olah demokratis, namun secara substantif justru tidak mencerminkan demokrasi itu sendiri.
Tak heran jika jabatan politik yang sudah semestinya menjadi salah satu alat demokrasi berubah menjadi aparatus oligarki – plutokrasi. Hal itu diakibatkan oleh “ongkos politik” yang tidak murah, alhasil tidak sedikit calon politisi berkualitas yang gagal karena tidak memiliki “ongkos” yang cukup.
Konon diperlukan anggaran 5 hingga 500 miliar untuk menjadi anggota DPR dan 50 – 100 miliar untuk menjadi kepala daerah seperti bupati / walikota.
Hal ini tentu akan menjadi masuk akal apabila dikemudian hari, KPK dibuat sibuk untuk mengejar para koruptor akibat tindak pidana korupsi, termasuk dalam praktik jual beli jabatan demi mengembalikan biaya politik yang mahal itu.
Krisis kepemimpinan ini seakan menjadi akut, apalagi orang – orang idealis mulai menghindar atau malah “terlempar” dari bursa pemilihan anggota parlemen maupun jabatan eksekutif karena biaya politik yang melambung.
Masa kampanye yang panjang juga membuat para kandidat tidak fokus dalam menyusun program kerjanya. Jika sudah terpilih pun, mereka juga cenderung tidak fokus dalam memberikan pelayanan terhadap rakyat yang telah memberikan amanat.
Ya fokus apalagi? Fokus balik modal pastinya, karena gaji seorang anggota DPR atau Bupati belum cukup untuk mengganti biaya kampanye yang telah digelontorkannya, mungkin saja ia terpaksa meminjam uang di bank dengan sertifikat rumah sebagai agunannya.
Setelah jabatan diraih, mereka justru tidak berfokus melayani rakyat, semakin besar modal yang diinvestasikan, semakin serakahlah mereka dibuatnya. Alhasil kesenjangan ekonomi semakin lebar, fragmentasi sosial kian rawan dan berujung pada rongrongan terhadap sendi – sendi demokrasi.
Situasi yang memprihatinkan itu lantas membuat kaum intelektual asyik untuk masuk di menara gading, namun gamang untuk turun ke masyarakat karena ketiadaan biaya. Kondisi tersebut tentu berbahaya bagi masa depan bangsa.
Masyarakat publik tentu berharap bahwa keadaan politik dan kohesi sosial yang carut – marut belakangan ini akan membuat kaum inteligensia tersadar dan merasa terpanggil untuk turun dari menara gading, dan kembali mengemban kepemimpinan intelektual dan moral demi kepentingan masa depan bangsa.
Jika ada yang bertanya apakah seorang pemimpin harus cerdas, tentu jawabannya sudah pasti ‘Ya’ karena pemimpn cerdas akan memiliki pola pikir, pola rasa, pola karsa dan pola karya yang harmonis terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kualitas calon pemimpin dimulai dari pondasi yang paling dasar, yaitu kualitas intelektual. Seorang pemimpin wajib mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, perencanaan dan keberanian untuk bertindak terhadap semua kewajibannya.
Pemimpin tidak hanya harus memperlihatkan gaya dan penampilan fisik yang luar biasa, tapi seorang pemimpin juga harus mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk membuat dirinya mampu bekerja dengan cerdas dan tegas.
Lantas bagaimana kita bisa menemukan sosok pejabat eksekutif / legislatif yang seperti itu, bahkan hampir tiap tahun KPK masih saja sibuk mengejar pejabat dan menyematkan rompi orange kepada pejabat yang terlibat kasus korupsi.
Tentunya jika seorang pemimpin memiliki kecerdasan, inteligensia, emosional dan spiritual yang baik, maka ia tidak akan sempat untuk berpikir akan kekayaan dirinya sendiri. Secara sadar ia justru akan disibukkan dengan langkah – langkah strategis untuk mensejahterakan rakyatnya.
Karena pemimpin yang terpilih merupakan pilihan Tuhan melalui suara rakyat, oleh karena itu sosok pemimpin haruslah meningkatkan kualitas kecerdasa spiritual untuk memperkuat daya tahan diri dalam menghadapi berbagai kemungkinan dan ketidakpastian dalam kehidupan.(**)
Oleh : Teddy Iskandar. Penulis adalah pengamat sosial politik
Editor: Harian Momentum