MOMENTUM, Bandarlampung--Permintaan pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah Papua telah berlangsung sejak lama. Sementara itu untuk pemekaran DOB ditingkat provinsi muncul mulai tahun tahun 1986 yang saat itu masih bernama Provinsi Irian Jaya yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat. Untuk Provinsi Irian Jaya Bara (Papua Barat) karena mendapatkan dukungan berbagai pihak sehingga keberlangsungan Provinsi Irian Jaya Barat terus eksis dan berkembang. Namun demikian untuk Provinsi Papua Tengah banyak menuai hambatan sehingga tidak dapat berjalan.
Berbagai upaya telah dikeluarkan seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat. Puncak perjuangan mempercepat Pembentukan Provinsi Papua Tengah (PPPT) juga dilakukan di tahun 2010 yang digagas oleh para elit politik yang dimitori oleh Kabupaten Mimika. Tim PPPT dari wilayah Mimika tersebut menginginkan ibukota Provinsi Papua Tengah (PPT) nantinya berada di Kabupaten Mimika, namun belum dapat diwujudkan karena belum adanya persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Gubernur Papua.
Permintaan dilakukannya pemekaran DOB diantaranya pemekaran Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Teluk Cendrawasih, Provinsi Tabi, Kabupaten Griminawa, Kabupaten Numfor, Kabupaten Yapen Timur, Kabupaten Biak Utara, Kabupaten Yapen Barat Utara dll. Permintaan (tuntutan) pemekaran DOB di wilayah Provinsi Papua berangsur mereda setelah pemerintah mengumumkan moratorium terhadap pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB).
Mencuatnya pemekaran DOB di Provinsi Papua setelah adanya pernyataan Yacob Rumpaidus yang juga Ketua Persatuan Veteran Biak-Supiori Mayor PKRI pada 23 Juni 2019 yang mengaku telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk meminta pembentukan Porvinsi Papua Tengah dan Kabupaten Kepulauan Numfor. Adanya pernyataan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak dalam bentuk unjuk rasa di Nabire menolak rencana pemekaran Provinsi Papua Tengah di wilayah Meepago pada pertengahan Juli 2019. Beberapa elit politik di Papua juga menolak pemekaran. Setelah itu, desakan pemekaran Papua disarankan dalam pertemuan 61 tokoh Papua yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, agama, pemuda, akademisi yang di pimpin oleh Ketua DPRD Kota Jayapura Abesai Rollo bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 10 September 2019. Usulan agar dilakukannya pemekaran di Provinsi Papua tersebut disampbut positif oleh Presiden Joko Widodo untuk dapat ditindaklanjuti. Dukungan dilakukannya pemekaran juga berasal dari tujuh bupati di wilayah adat Meepago dengan menggelar rapat kesepakatan pembahasan pembentukan Provinsi Papua Tengah tanggal 1 November 2019 di Timika.
Kemudian, permintaan pemekaran Papua juga disuarakan kepala daerah di wilayah Tabi seperti Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Mamberamo Raya), sebagai tindak lanjut deklarasi yang dilaksanakan pada 16 September 2019 di Kabupaten Jayapura. Namun, pemekaran Papua ditolak habis oleh salah satunya Socratez S.Yoman yang Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, walaupun suaranya belum tentu mewakili suara rakyat Papua.
Menurut penulis, bagaimanapun juga sangat diperlukan pemekaran Provinsi Papua untuk mempercepat proses pembangunan, memperpendek rentang kendali birokrasi, mengefektifkan penggunaan dana Otsus, termasuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah di Papua, karena sejatinya pemekaran Papua adalah solusi cerdas mengatasi permasalahan di Papua. Dengan pemekaran Papua, maka permasalahan kronis di Papua seperti di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan perekonomian rakyat akan mudah diselesaikan. Semoga.(**)
Oleh : Wilnas. Penulis adalah pemerhati masalah Papua.
Editor: Harian Momentum