MOMENTUM--Pemerintah sudah menerapkan sistem zonasi dengan kuota 50 persen dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Tujuannya baik. Memberi akses pendidikan berkualitas. Sehingga dapat mewujudkan Tripusat Pendidikan (sekolah, keluarga, masyarakat). Calon siswa pun tidak perlu jauh-jauh untuk bersekolah.
Pola ini patut diapresiasi. Karena memberikan kesempatan bagi calon siswa di sekitar sekolah bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Orang tua juga membantu sekolah mengawasi anaknya sendiri.
Tapi, pemerintah mestinya tidak lupa. Banyak juga daerah yang jauh dari sekolah. Akibatnya, calon siswa kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah yang diinginkannya. Kebanyakan sih sekolah- sekolah favorit.
Memang sih, masih ada jalur lain. Seperti jalur prestasi. Tapi, bagaimana dengan anak-anak yang tidak berprestasi? Sudah tidak masuk zonasi, tanpa prestasi, lalu apa solusinya?
Apalagi namanya anak-anak. Tidak semuanya paham dengan peraturan. Tak jarang ada calon siswa menangis terus menerus karena tidak diterima di sekolah tertentu. Bahkan, ada pula mengancam tidak akan sekolah, jika tidak diterima.
Seharusnya sebelum membuat peraturan, pemerintah juga mengantisipasi hal-hal seperti itu. Jadi tidak hanya mengedepankan aturan, tapi juga diberikan solusi.
Selain itu, sistem zonasi juga berdampak lain. Misalnya ada orang tua yang menitipkan nama anaknya ke dalam kartu keluarga (KK) saudara atau kenalan mereka.
Secara administrasi sih memang tidak masalah. Tapi kan pemerintah tujuannya ingin membuat siswa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kalau hanya namanya di dalam KK, sedangkan orangnya tinggal jauh dari sekolah sama saja bohong. Secara tidak langsung justru mengajari anak-anak untuk berbuat curang. Agar bisa diterima di sekolah paforitnya.
Tak sedikit pula yang berbuat kebohongan. Misalnya membuat surat keterangan domisili kalau calon siswa sudah menetap lebih dari satu tahun.
Artinya, sistem zonasi ini masih banyak kelemahan walaupun ada juga kelebihannya. Harusnya, pemerintah juga bisa memperhatikan beberapa kelemahan itu.
Sehingga, pendidikan berkualitas seperti yang diharapkan pemerintah bisa tercapai. Itu saja sih menurut saya. (*)
Editor: Harian Momentum