Siklus Kehidupan

img
Andi S. Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM-- Dulu, ketika beranjak remaja, saya selalu mendapat tugas yang membosankan. Kerjanya memang tidak capek. Tidak mengeluarkan keringat. Cukup duduk dan sesekalli memantau sekeliling area persawahan. 

Ya, kerja yang (menurut penulis) sangat membosankan itu adalah “menjaga burung”. Tepatnya ketika padi yang ditanam sudah mulai menguning.

Rutinitas yang bertepatan dengan masa libur sekolah itu menjadi agenda wajib, karena ditugaskan orang tua. Mulai dari pukul enam pagi, hingga setengah sepuluh. Kemudian berlanjut dari pukul setengah empat sore sampai menjelang magrib.

Dalam rentang waktu itu, saya tidak boleh lengah. Ketika gerombolan burung Pipit mencoba “menyerang” tanaman padi, saya harus sigap menarik tali dari atas pondok.

Tali itu terhubung dengan orang- orangan sawah dan kaleng berisi batu. Sehingga gerombolan burung Pipit tak jadi hinggap, karena takut.

Empat petak sawah yang kami sewa saat itu menjadi rumah kedua bagiku. Agenda wajib setiap hari itu berlangsung hingga panen. 

Dari atas pondok tempat berteduh di tengah sawah, sesekali aku memandang ke arah Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum). Lalu- lalang kendaraan terlihat melintas.

Alangkah enak hidup mereka yang serba berkecukupan. Punya kendaraan pribadi sehingga mudah bepergian. Begitulah ungkapan hatiku dulu, saat melihat mobil pribadi melintas.

Kini, setelah puluhan tahun berlalu, kondisinya berbanding terbalik. Ketika beberapa kali melintasi jalan tol, saya selalu melihat pondok- pondok di tengah sawah.

Para petani terlihat berteduh dari teriknya sengatan matahari. Mereka duduk sembari menikmati santap siang. Dalam hatiku bergumam: Alangkah nikmatnya hidup mereka. Meski sederhana tapi penuh ketenangan.   

Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita singkat ini, agar kita lebih pandai bersyukur. Berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt.

Percayalah, sesuatu itu akan terlihat indah karena belum dimiliki. Terlalu sibuk melihat kebahagiaan orang lain, tapi lupa dengan nikmat yang sudah diperoleh.

Saat hidup di desa kita merindukan suasana kota. Namun saat berada di kota, kita justru ingin kembali ke desa. 

Kapan kita akan bahagia jika selalu memikirkan sesuatu yang belum ada? Hidup itu tak selamanya berjalan mulus. Butuh batu kerikil agar kita hati- hati saat berjalan. Butuh semak berduri agar senantiasa waspada. 

Hidup butuh masalah supaya tahu bahwa kita punya kekuatan  untuk menghadapinya. Ada kalanya tiba di persimpangan, agar kita lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. 

Butuh petunjuk jalan agar kita punya harapan tentang arah masa depan. Begitulah siklus perjalanan hidup. Jadilah pribadi yang pandai bersyukur. Ingat, perjalanan menuju kubur tidak pernah libur!

Tabikpun. (*) 






Editor: Agus Setyawan





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos