Harianmomentum--Babak
baru ketengangan di Semenanjung Korea dan Asia Timur akan semakin luas dengan adanya
tindakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang akan melucuti Korea Utara
dengan atau tanpa melibatkan Republik Rakyat China.
Demi menekan Korea Utara, Amerika
Serikat dan Korea Selatan sedang menempatkan sistem pertahanan Terminal High
Altitude Area Defense (THAAD) di wilayah perbatasan. Manuver ini diprotes China
yang melihat kehadiran sistem persenjataan THAAD sebagai ancaman bagi
mereka.
Hal tersebut disampaikan Pemerhati
Asia Timur, Teguh Santosa, saat berada di Seoul menghadiri Konferensi Wartawan
Dunia 2017 yang diselenggarakan Asosiasi Wartawan Korea (JAK) seperti rilis
tertulisnya yang diterima harianmomentum.com,
Selasa (4/4). Konferensi tahunan yang diikuti sekitar 100 wartawan dari 52
negara ini membahas sejumlah isu keamanan internasional dan peranan media dalam
meredakan ketegangan.
China, misalnya, menekan
perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang beroperasi di China, terutama yang
memberikan dukungan langsung atau tidak terhadap penempatan sistem persenjataan
THAAD. China juga menghentikan kunjungan grup wisatawan dari negara itu ke
Korea Selatan.
"Amerika Serikat dan Korea
Selatan telah berkali-kali mengatakan bahwa THAAD hanya dimaksudkan untuk
melucuti sistem persenjataan Korea Utara, dan bukan untuk melucuti pertahanan
negara lain. Tetapi tentu saja, China punya alasan kuat untuk mencurigai
kehadiran sistem pertahanan sekaliber THAAD sebagai ancaman terhadap
mereka," ujar Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Pusat.
Di sisi lain, Amerika Serikat dan
Korea Selatan mengecam bantuan yang selama ini diberikan China kepada Korea
Utara, yang memungkinkan Korea Utara mengembangkan sistem persenjataan mereka
dan memungkinkan negara itu melakukan serangkaian uji coba beberapa waktu
belakangan ini.
"Dilema keamanan ini terjadi
karena sejak awal pembicaraan mengenai senjata nuklir Korea Utara hanya
melibatkan pihak-pihak yang memilki kepentingan langsung di kawasan itu.
Semestinya, negara-negara lain yang memilki reputasi baik dalam pergaulan
internasional dan tidak memiliki kepentingan langsung di Semenanjung Korea juga
dilibatkan," kata Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
"Bagaimanapun, isu keamanan di
Semenanjung Korea dan Asia Timur adalah isu keamanan bersama. Kegagalan
menangani ketegangan di Asia Timur akan berdampak luas karena ketegangan ini
melibatkan negara-negara super power yang kuat secara ekonomi dan
militer," kata Teguh.
Pada bagian lain, Teguh mengatakan,
sedikit banyak ada peluang peredaan ketegangan di Semenanjung Korea pasca
pemilihan presiden di Korea Selatan bulan Mei mendatang. Apabila presiden baru
Korea Selatan berasal dari kubu progresif-demokratik, bukan tidak mungkin Korea
Selatan akan mengaplikasikan pendekatan yang lebih bersahabat seperti di era
Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun.
Namun begitu, masih menurut dia,
sebesar apapun keinginan pemerintahan baru di Korea Selatan mengaplikasikan
pendekatan yang lebih bersahabat, tetap tidak mudah karena Korea Selatan
terikat pada berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB terkait nuklir Korea Utara.
Di sisi lain, melihat agresifitas
Korea Utara yang diperlihatkan melalui sejumlah ujicoba senjata baru-baru ini,
bisa saja ketegangan akan menemui kulminasi dalam waktu yang tidak lama lagi.
"Imbauan terbaik adalah meminta
semua pihak yang terlibat dalam ketegangan ini untuk menahan diri sampai
ditemukan upaya penyelesaian yang lebih kredibel dengan melibatkan negara lain
dalam pembicaraan," ujar Teguh. (*/Red)
Editor: Harian Momentum