Kartel Politik Pilkada: Potret Ironi Demokrasi

img
Salsabil Qurrota A’yun Az-zahra - Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung. Foto. Ist.

MOMENTUM -- Munculnya calon tunggal pada perhelatan Pilkada 2024 di berbagai daerah menghadirkan kekhawatiran. Terdapat 41 daerah di Indonesia yang berpeluang melawan kotak kosong pada 27 November 2024, menjadikan pilkada ini sebagai pemilihan dengan kotak kosong terbanyak.

Kotak kosong merupakan istilah di mana surat suara pada daerah yang memiliki calon tunggal terdapat kolom lain dengan tidak ada nama maupun gambar calon atau kotak yang kosong. Mekanisme ini dihadirkan sebagai alternatif dalam memunculkan kontestasi pada Pilkada sebagai syarat demokrasi sehingga masyarakat dapat memiliki pilihan selain calon tunggal yang ada. 

Kotak kosong semakin meningkat angkanya sejak pertama kali muncul di tiga daerah pada Pilkada tahun 2015, bertambah di Pilkada selanjutnya tahun 2019 dengan sembilan daerah, 16 daerah pada Pilkada 2018 dan 25 daerah pada Pilkada 2020.

Kecenderungan partai politik berkoalisi untuk memenangkan calon tanpa menghadirkan calon lain menjadi fenomena kotak kosong yang nyata saat ini. Upaya dilakukan dalam memberikan jalan partai politik untuk berkontestasi dengan baik dan memberikan banyak pilihan pemimpin bagi masyarakat di daerah dilakukan untuk menghadirkan demokrasi dengan memperpanjang pendaftaran bagi daerah yang terdapat calon tunggal juga dengan hadirnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah di Pilkada.

Putusan MK terbaru dan perpanjangan pendaftaran bagi partai politik tampaknya tidak banyak dilirik oleh partai yang lebih banyak memilih bergabung membentuk koalisi mengamankan posisi dalam mengusung satu pasangan calon tanpa menghadirkan calon tandingan di daerah- daerah yang diusung oleh mayoritas partai. Kongsi-kongsi partai politik dalam memenangkan satu calon di daerah menjadi jalan pintas yang dipilih partai untuk berkontestasi tanpa banyak mengeluarkan amunisi juga mendapat jatah bagi-bagi.

Kartelisasi politik terlihat dari bagaimana partai dan elit berkoalisi juga berkolusi dalam menyuguhkan pilihan calon tunggal atau kotak kosong kepada masyarakat. Dalam hal ini, partai politik kehilangan peran sebagai oposisi. Tidak lagi menjalankan kontrol kebijakan bagi pemegang kekuasaan. Sehingga tidak ada “gangguan politik“ selama menjabat. Tidak berjalannya check and balance yang terjadi dalam memimpin daerah. Sehingga lambat laun, akan mematikan transparansi, akuntabilitas yang sarat akan kepentingan. Mempertahankan status quo dan lebih fokus pada kepentingan kelompok elit dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Munculnya calon tunggal yang diusung mayoritas partai, mempersempit persaingan dalam berkontestasi yang sehat antar partai politik itu sendiri. Sehingga tidak ada kompetisi yang setara. Juga, tidak adanya adu ide gagasan oleh calon kepada daerah, menjadikan demokrasi sebagai formalitas belaka. Hal ini tentu saja menyalahi esensi demokrasi yang seharusnya memberikan rakyat kebebasan untuk menentukan masa depan melalui pilihan yang beragam. 

Partai politik seharusnya bertanggung jawab untuk menciptakan kader yang mumpuni dan memberikan alternatif pilihan politik yang benar-benar bisa mewakili aspirasi masyarakat.

Kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik menjadi hal yang perlu dievaluasi. Pelaksanaan pembinaan kader, seleksi kepemimpinan internal serta upaya peningkatan kualitas kader, harus juga menjadi fokus dalam keberlangsungan partai politik. Sehingga mampu dan percaya diri menghadirkan kader partai yang siap tempur dalam konstelasi politik, alih-alih mencalonkan kader partai lain.

Akhirnya, dalam situasi ini, dihadapkan pada dua pilihan: Mendukung calon tunggal atau memilih kotak kosong. Sikap dalam menentukan pilihan ini haruslah ditentukan berdasarkan evaluasi kritis terhadap kualitas calon, kondisi politik lokal dan dampak dari keputusan terhadap demokrasi di masa depan. 

Memilih kotak kosong bisa menjadi sikap penolakan terhadap kartelisasi politik. Sementara mendukung calon tunggal dapat dilakukan jika calon tersebut diyakini mampu memimpin dengan baik dan mengakomodir kepentingan rakyat. (**)

Penulis: Salsabil Qurrota A’yun Az-zahra - Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung






Editor: Muhammad Furqon





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos