MOMENTUM-- Pekan lalu, saya pulang ke kampung halaman. Tepatnya di Desa Purwotani, Kabupaten Lampung Selatan.
Desa itu merupakan daerah kelahiran sekaligus tempat saya dibesarkan. Banyak sekali kenangan masa kecil yang tersimpan di sana.
Sehingga, di momen langka (setelah menikah) ini, saya sempatkan bernostalgia. Merenungi masa- masa indah di kala kecil hingga remaja.
Di rumah, ada sebuah pendopo sederhana. Tempat biasa bersantai sekaligus berbincang dengan keluarga.
Maka di sore itu aku pun melakukan hal serupa. Duduk bersandar sembari menikmati sebatang rokok yang terselip di jari.
Entah mengapa tanpa sadar aku melamun. Merenungi kehidupan yang kujalani saat ini. Ya, sejak menikah pola hidup sudah berbeda. Ada peran baru—sebagai suami.
Memori otak kembali berputar ke masa remaja. Mungkin sekitar sepuluh tahun lalu. Tergambar jelas kenangan saat bermain gundu (kelereng) dengan teman sebaya.
Bahkan terkadang sampai lupa waktu. Berhenti bermain jika sudah bernjak petang. Ada Hindi, Farid, Lihan, Refin dan Deri.
Mereka adalah teman setia. Hampir tiap sore kami bermain di halaman paman Erpan, tetanggaku.
Jika bosan gundu, terkadang kami bermain petak umpet. Congklak, gobak sodor bahkan sepak bola ceng-cengpo. Kusebut demikian karena mainnya hanya di pelataran.
Suara tilawah di radio La Nugraha lewat speaker masjid, sebagai pertanda untuk berhenti bermain. Jika alunan suara ayat suci Al-qur’an itu sudah terdengar, maka waktunya berhenti. Dilanjutkan agenda mengaji.
Begitu terus siklus kehidupan di waktu itu. Bahkan generasi tiga tahun di bawahku pun masih gabung bermain bersama. Ada saja permainan tradisional yang kami mainkan dulu.
"Brakk.. hayooo ngalamunin apa? Tiba- tiba istri mengejutkan dengan menepuk pundak. Alhasil, memori masa remaja seketika hilang.
"Enggak, aku lagi ngebayangin dulu waktu masih kecil. Kayaknya asyik banget.. main dakon, gobak sodor di sini. Tapi kok sekarang sepi ya," jawabku.
Sontak istriku menjawab, "Hmmm sekarang anak seusia itu sudah nggak main begituan (permainan tradisional). Wong semua pegangannya udah android (telepon pintar)," kata dia.
Apa yang dia ucapkan memang benar. Game online di telepon genggam sudah menggusur permainan tradisional. Faktanya minat anak-anak sudah teralihkan. Padahal, ini di kampung loh. Bukan kota.
Mungkin saja, lima sampai sepuluh tahun ke depan Indonesia sudah tidak punya budaya lokal. Tergerus permainan online.
Prihatin memang, tapi itulah fakta. Mungkin tak lama lagi pengrajin papan congklak akan kehilangan mata pencaharian. Layang-layang akan jadi sampah di warung klontong.
Aku tau, arus globalisasi dan digitalisasi yang sangat deras punya banyak dampak positif. Tapi rasa khawatir ku juga kuat akan keberlangsungan budaya dan kearifan Nusantara.
Bukankah permainan tradisional juga mampu membangun kreativitas dan interaksi sosial anak? Tidak kalah asyik kok.
Sadar atau tidak, telepon pintar (smart phone) sangat mempengaruhi perkembangan anak. Interaksi dengan orang tua pasti akan tidak maksimal. Ketika usianya sudah menginjak tujuh tahun, sangat dimungkinkan anak tersebut akan mengenal game online. Bukan lagi sumputan lidi atau pun petak umpet.
Seketika aku melihat situs resmi Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ternyata sudah ada daftar mainan tradisional Indonesia yang kini menghadapi ancaman kepunahan. Selengkapnya baca sendiri.
Mohon maaf, ini hanya sebatas khawatirku. Tak lebih.
"Mas, nanti kalau kita udah dikasih momongan, jangan buru-buru dipegangi hape ya.. wong kita dulu aja punya android pas udah SMA kok," kata istriku sambil menaruh Hp-nya.
Akankah budaya nusantara kita akan tergerus habis oleh perkembangan zaman? Semoga tidak.
Tabikpun. (*)
Oleh: Ikhsan Ferdiyanto - Wartawan Harian Momentum
Editor: Muhammad Furqon