Pascaeksekusi Sidosari, SPPN VII Berharap Tidak Ada Provokasi

img

MOMENTUM, Bandarlampung--Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII mengapresiasi upaya penegakan hukum yang dilakukan PTPN I Regional 7. Proses eksekusi terhadap aset negara berupa lahan di Desa Sidosari yang berlangsung 31 Desember 2024 sampai 13 Januari 2025 adalah bukti komitmen Perusahaan untuk menjaga wibawa negara sekaligus menyelematkan masyarakat dari kesesatan langkah. Oleh karena itu, SPPN VII mendukung manajemen dan meminta parapihak untuk menjaga muruwah hukum dan kebenaran.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum SPPN VII Sasmika DS Bersama pengurus inti di Bandar Lampung, Ahad (26/1/25). SPPN VII merasa perlu membuat pernyataan ini sebagai merespons terhadap masih adanya beberapa provokasi. Beberapa pihak, kata Sasmika, masih berupaya melakukan propaganda dengan menyiarkan potongan-potongan video dan pernyataan-pernyataan dari tokoh yang mengomentari proses hukum pascaeksekusi Sidosari.

“Kami sebagai organisasi pekerja PTPN menyatakan upaya hukum yang dilakukan PTPN I Regional 7 sudah sangat tepat. Semua tahapan dilakukan sesuai prosedur dari awal hingga eksekusi. Hukum adalah pilar utama dalam tatanan kita bernegara. Jadi, ini bukan hanya soal penyelematan aset, tetapi menjaga kehormatan negara dan wibawa hukum sekaligus menyelamatkan masyarakat ke jalan yang benar,” kata Sasmika DS didampingi Sekjen Johanes.

Proses hukum yang berjenjang dan berlangsung secara damai dalam menyelamatkan aset seluas 75 hektare dalam HGU No.16/1997 milik PTPN I Regional 7, menurut Sasmika sudah sangat bijak. Terlebih dengan kebijakan manajemen yang memberi bantuan kepada para okupan yang telanjur tertipu mafia tanah, yakni memberi uang kost, menyediakan tukang, mengantar pulang, dan bantuan lainnya adalah aspek yang harus diapresiasi.

“Kalau secara hukum putusan itu tanpa syarat. Artinya, PTPN I Regional 7 tidak ada kewajiban hukum untuk memberi berbagai bantuan itu. Tetapi dengan rasa kemanusiaan, mereka masih tetap kita bantu dan kami hormati hak-haknya. Oleh karena itu, kalau masih ada propaganda bahkan memprovokasi pascaeksekusi itu, bahkan dengan narasi negatif, kami sangat menyayangkan,” tambah dia.

Tentang relasi SPPN VII dengan Manajemen PTPN I Regional 7, Sasmika menyebut tidak terpisah. SPPN VII, kata dia, adalah organisasi karyawan PTPN yang nota bene merupakan organ utama dalam menjalankan operasional Perusahaan sekaligus mendapat manfaat penghasilan dari Perusahaan. Dalam konteks pembelaan SPPN VII kepada Perusahaan, memiliki kewajiban utama.

“SPPN VII itu wakil karyawan yang akan menjembatani kepentingan pekerja dalam hubungannya industrial dengan Perusahaan. Aspirasi karyawan disalurkan lewat SPPN VII. Oleh karena itu, kami sangat punya kepentingan untuk menjaga Perusahaan karena kami mendapat rezeki dari sini. Jadi, kalau ada yang akan merongrong, bahkan merebut aset perushaan, kami pasang badan. Tidak akan kami biarkan sejengkal asetpun yang boleh direbut secara ilegal. Kami harap semua pihak menghormati hukum,” kata dia.

Secara umum, eksekusi lahan yang saat ini dikelola Unit Kerja Kebun Rejosari itu berlangsung lancar. Beberapa insiden yang terjadi di lapangan, menurut Sasmika, adalah dramatisasi dari beberapa pihak yang berupaya melawan putusan hukum tetapi dengan alas yuridis yang tidak bisa diterima. Ia juga menyayangkan beberapa statemen yang menggunakan dalil-dalil agama tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. 

“Kami juga sangat berharap pascaeksekusi ini masyarakat di lingkungan Perusahaan turut menjaga aset negara ini. Karena, secara langsung atau tidak langsung, keberadaan PTPN di suatu wilayah tetap memberi manfaat positif secara ekonomi. Tenaga kerja terserap, dan ada putaran ekonomi yang lebih baik,” tambah Sasmika. 

Sementara itu, Ketua Harian FKPPIB Rafly juga menyatakan hal senada. Organisasi anak-anak karyawan BUMN ini menyebut proses eksekusi sempat diwarnai drama yang telah diskenariokan oleh para penggerak dari kubu mafia tanah.

“Kami ikut mengawal dan menyaksikan langsung bagaimana drama itu dimainkan. Jadi, semua itu sudah diskenariokan sehingga seolah-olah ada kekerasan, ada intimidasi, ada penindasan, bahkan seolah-olah ada tragedi kemanusiaan. Tetapi kami melihat semua drama itu ada dalam skenario mereka, termasuk memanfaatkan emak-emak dan anak-anak. Kalau kita cuma ngeliat potongan-potongan video lalu berkomentar, ya pasti bias,” kata dia.

Ia meminta peristiwa hukum yang sudah berjalan dan berakhir dengan tegaknya keadilan tidak dibawa ke ranah sensitif lain. “Semua pihak punya hak, tetapi sebaiknya tidak usah diseret-seret ke wilayah-wilayah ideologi yang sensitif. Bisa berbahaya untuk stabilitas nasional.” (*)






Editor: Muhammad Furqon





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos