MOMENTUM, Bandarlampung--Komunitas Kelompok Studi Kader (Klasika) Lampung menyatakan penolakan terhadap keputusan pemerintah yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Penetapan gelar tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025 yang diumumkan pada 10 November 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Direktur Klasika Ahmad Mufid mengatakan, langkah pemerintah tersebut memicu reaksi luas di ruang publik. Sebagian pihak menilai penghargaan itu sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Soeharto terhadap stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru.
Namun, menurut Mufid tak sedikit pula yang mengecam keputusan tersebut karena dianggap mengabaikan sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa pemerintahan Soeharto.
Lebih lanjut ia menyampaikan, penolakan terhadap gelar itu juga bergema di media sosial melalui tagar #SoehartoBukanPahlawan, yang digaungkan oleh warganet, aktivis, akademisi, serta keluarga korban kekerasan negara.
"Gerakan ini menjadi simbol perlawanan moral terhadap upaya pelupaan sejarah dan penormalan kekuasaan yang menindas," kata Mufid, Selasa (11-11-2025).
Ia menambahkan, sebagai bentuk refleksi dan kesadaran publik, Klasika Lampung menggelar diskusi bertajuk “DialoKlasika: Soeharto Bukan Pahlawan”, Selasa (11-11) malam, di Rumah Ideologi Klasika, Sukarame, Bandarlampung.
Diskusi tersebut menghadirkan dua pemantik, yakni Prabowo Pamungkas dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung dan Yogi Prazani dari Gusduran Lampung.
Kegiatan ini terbuka untuk seluruh kalangan dan menjadi ruang bagi masyarakat untuk berdialog serta mengingat kembali pentingnya menjaga nalar kritis terhadap sejarah bangsa.
“Gerakan ini bukan semata menolak gelar, tapi juga menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan akal sehat dalam menilai sejarah. Melawan lupa adalah bagian dari perjuangan itu sendiri,” pungkasnya. (**)
Editor: Muhammad Furqon
