Momentum Menggugat

img
Munizar

MOMENTUM, Bandarlampung--Namaku Momentum, eh maksudnya kami. Aku, eh salah lagi. Maksudnya kami.

Kenapa kami. Ya, karena lebih dari satu orang. Kami sekumpulan anak bangsa yang berusaha berkarya lewat kelompok kerja yang biasa disebut redaksi. 

Orang-orang menyebut kami sebagai penyampai kabar, kontrol sosial, sekaligus punya fungsi mendidik, walaupun bukan guru. 

Kami juga bisa berfungsi sebagai sarana hiburan. Itu katanya. Seperti tulisan di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Saking rutinnya kami menyampaikan beragam kabar. Banyak orang menganggap, apa yang kami sampaikan itu sudah benar. Padahal, belum tentu? Kami hanya sarana  penyambung untuk menyampaikan informasi dari si empunya kabar alias nara sumber.

Kami sering kali terkecoh, bahkan mungkin kurang jeli dan sekaligus mungkin kehilangan daya kritis menyaring kabar dari nara sumber untuk disebarluaskan ke publik—sengaja pakai diksi publik untuk mengganti kata masayarakat. Biar terdengar agak intelek gitoo...kata anak zaman now..

Kembali ke masalah kurang jeli tadi. Ini contoh kekurang jelian kami menyaring kabar dari nara sumber yang kebanyakan lembaga pemerintah.

Misal, ada kegiatan pencanangan progam Gerakan Bebas Buang Air Besar Sembarangan. Serta merta, kami menulis dan menyampaikan ke masyarakat, bahwa pemerintah daerah ono mencanangkan gerakan Bebas Buang Air Besar Sembarangan.

Padahal, setelah dipikir-pikir nama program itu aneh dan lucu..?

Kalau kalimat nama program itu dicermati, artinya sungguh bikin kita geleng-geleng..?

Bebas Buang Air Besar Sembarangan. Hayo coba maknai..? Yang sudah dapat arti kata perkata dan kalimat dari nama program itu, pasti senyum-senyum...hehehe..

Itu baru satu contoh, bukti ketidakjelian dan hilangnya daya kritis kami dalam menyaring data dari  pemangku kebijakan sebagai sumber utama berita.

Masih banyak contoh lain yang berupa program, slogan dan nama lembaga dari para pemangku kebijakan, yang jika dimaknai arti kata dan kalimatnya bisa mengundang kelucuan, keanehan. Bahkan, mungkin menunjukan kekurang pintaran dari para pemangku kebijakan.  

Contoh lain, keluarga pasien protes rendahnya kualitas pelayanan Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit A. 

Sepertinya biasa saja. Tapi coba cermati arti kata perkata dari sebutan Unit Gawat Darurat itu.

Unit itu artinya satuan terkecil. Gawat berarti genting atau kondisi berbahaya. Darurat artinya keadaan sukar serba sulit dan terbatas.

Lantas, bagaimana mungkin keluarga pasien protes minta pelayanan berkualitas dalam kondisi yang serba gawat dan darurat...hemmm..?

Kami bukan menyalahkan keluarga pasein. Kami hanya mencoba mengajak kita semua, wabil khusus para pemangku kebijkan, untuk meluruskan nama dari unit pelayanan tersebut.

Kalau bisa pakai bahasa Indonesia saja. Jangan bahas Inggris. Biar lebih mudah dimengerti masyarakat dari segala lapisan. Misal, pelayanan cepat tanggap atau apa kek..?

Kondisi yang begini membuat kami bertanya..? Bagai mana cara pemerintah merumuskan nama program, lembaga atau istilah yang menyangkut segala tetek bengek program kerja pembangunan.

Tidakkah pemerintah melibatkan Kantor Bahasa sebagai lembaga yang berkompeten untuk menangani masalah tersebut. Jangan biarkan kantor bahasa termangu sebatas plang papan nama.

Tolong bantu kami, melaksanakan fungsi mendidik masyarakat mencitai Indonesia lewat bahasa. (Munizar Redaktur Pelaksana Harian Momentum)







Editor: Harian Momentum





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos