MOMENTUM, Bandarlampung--Isu rasis terhadap mahasiswa Papua terindikasi dimanfaatkan kelompok separatis untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Namun, pemisahan Papua dari Indonesia dianggap isu yang mengada-ada karena secara yuridis dan historis Papua bagian NKRI.
Sejarah Panjang perebutan Irian Barat (Papua) tak lepas dari peran para pahlawan juga aparatur pemerintahan. Pun dengan tokoh pemuda, masyarakat juga yang lainnya. Berapa kalipun menggaungkan Papua adalah Bagian integral NKRI, sah dan diakui, tak berpengarauh bagi sekelompok separatis yang menginginkan disintegrasi.
Kembali pada sejarah dua tahun setelah diproklamirkan Kemerdekaan RI, tepatnya pada tanggal 17 Agustus tahun 1947, Sang Saka Merah Putih berkibar dengan kokoh di Tanah Papua. Barisan pemuda Papua ketika itu berani menembus pengawalan ketat tentara Belanda di Wilayah Papua, layak diapresiasi. Mereka melakukannya hanya untuk menyaksikan bendera pusaka berkibar di Papua.
Sederet tokoh pemberani tersebut adalah: Albert Kurubuy, Silas Papare, Frans Kaisiepo, Johan Ariks, Marthen Indi juga banyak nama yang lainnya. Termasuk tokoh intelektual Papua Besstuur School atau yang populer dengan sekolah pamong praja. Yang mana dulunya didirikan oleh pemerintahan Belanda di wilayah Hollandia, yang sekarang disebut Jayapura.
Kehadiran lembaga ini agaknya banyak memberikan warna terhadap kesadaran politik warga Papua. Darisana pula para pemuda Papua mampu mengikuti perkembangan situasi politik di seluruh wilayah Nusantara. Frans Kaisiepo dan Silas Papare adalah orang yang terinspirasi akan perkembangan politik tersebut. Mereka berjuang bersama para pendukungnya guna membebaskan tanah Papua dari Belanda.
Mereka melakukan kegiatan rapat secara sembunyi-sembunyi dimana intinya adalah menentang pendudukan Belanda. Selain itu, Papua ingin bersatu kembali dengan NKRI. Secara perlahan mereka membentuk sebuah dewan perwakilan dibawah pimpinan Sugoro Admoprasojo. Frans kaisiepo menegaskan tidak menyukai nama bertuliskan Papua Bestuur School. Ia lalu memerintahkan saudaranya Markus Kaisiepo guna mengganti papan nama menjadi IRIAN Bestuurschool.
Akhirnya Silas Papare dan kelompoknya pulang ke kampung guna menerapkan kesadaran politiknya bagi desanya. Ia mendirikan PKII yakni Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Dan tepat satu tahun, Silas beserta kelompoknya melakukan upacara bendera merah putih untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, seluruh peserta di tahan Belanda hingga lebih dari 3 bulan lamanya.
Tercatat bahwa PKII ini memperoleh berbagai dukungan dari banyak kalangan. Bahkan, di Irian Dukungan juga datang dari masyarakat wilayah Manokwari,Sorong dan Biak. Silas Papare sendiri berprinsip jika Papua secara historis tak terpisahkan dari wilayah Indonesia. Ia terus memperjuangkan prinsipnya tersebut tanpa henti. Bahkan ia juga menegaskan jika sebelum Indonesia merdeka Papua adalah bagian Hindia-Belanda. Namun semua berubah ketika kemerdekaan berhasil diperoleh Indonesia, yakni Papua berjuang bersama Indonesia. Begitu pula sebaliknya.
Kedua tokoh pemuda di Papua, Silas Papare dan Frans Kaisiepo adalah perwakilan nasionalis yang sadar akan esensi kemerdekaan Indonesia bagi rakyat Papua. Kedua tokoh tersebut beserta para pendukungnya mengharap agar Papua bisa terbebas dari kolonialisme dan Imperialisme bersama Indonesia.
Implikasinya ialah dengan menerima fakta jika Nusantara adalah terdiri dari beragam suku dan agama. Silas dan Frans ini-pun turut mengajarkan inti dari Bhinekka Tunggal Ika, agar orang Papua tidak saja mampu mengusir penjajah. Namun juga bisa ikut membangun Papua untuk melesat maju dan sejahtera.
Sayangnya, sifat Nasionalisme Indonesia telah mengubah cara pikir kaum intelektual Papua di jaman itu. Dan Frans Kaisiepo belum seutuhnya dijiwai kaum muda Papua di jaman ini. Kaitannya ialah masih adanya kelompok pemuda yang ditengarai berpikiran sempit guna menginginkan Papua berdiri sendiri. Mereka juga aktif mengikuti komunitas anti NKRI dan mempertahankan Papua bukanlah bangsa Indonesia. Karena bentuk fisik mereka yang berbeda dengan rakyat Indonesia lainnya.
Hal ini jelas saja salah kaprah! Sebagai satu kesatuan NKRI, hendaknya menghilangkan cara pandang yang sempit. Karena pada hakikatnya seluruh warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk membangun negeri. Pun pemerintah telah mengatur segala hak dan kewajiban berwarga negara tanpa memandang suku, ras, agama juga faktor lainnya.
Bukankah sudah jelas, Papua selalu ingin menjadi bagian integral NKRI, hal tersebut terbukti sesuai cerita diatas. Mereka (Papua) juga menyadari jika mereka akan sejahtera bersama Indonesia. Sehingga tak ada lagi yang seharusnya dirisaukan. Karena hingga kapanpun Papua tetap satu tubuh dalam bingkai NKRI.(**)
Oleh : Sabby kosay. Penulis adalah mahasiswa Papua, tinggal di Yogyakarta
Editor: Harian Momentum