MOMENTUM -- Perjalanan panjang demokrasi Indonesia, ada peristiwa yang tak seharusnya pudar dari ingatan kolektif bangsa. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada 21 dan 22 Mei 2019. Pada hari itu, menjadi catatan hitam sejarah demokrasi di Indonesia.
Ketika itu, terjadi demonstrasi di depan Gedung Badan Pemilu atau Bawaslu Jakarta, menuntut keadilan dan transparansi terhadap pelaksanaan pemilu 2019. Unjukrasa menolak hasil pemilu yang semula berlangsung damai, berubah menjadi kerusuhan yang menelan korban sembilan orang tewas.
Hari itu menjadi tragedi kelabu yang mencederai nilai-nilai demokrasi yang selama ini diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Kini, enam tahun telah berlalu. Waktu memang berjalan, namun bagi kami, para eks tahanan politik) atau tapol peristiwa Mei 2019, luka itu belum benar-benar sembuh. Kami masih ingat bagaimana ratusan anak bangsa, sebagian besar pendukung Bapak Prabowo Subianto, menjadi korban dari represivitas negara.
Mereka tak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara moral dan psikologis. Ada yang cacat, ada yang gugur, dan tak sedikit pula yang meringkuk di balik dinginnya jeruji penjara berbulan-bulan lamanya. Kami alami intimidasi, perlakuan keji, bahkan tekanan yang seharusnya tak pantas diterima oleh rakyat yang hanya ingin bersuara.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adab dan etika, kami bisa memaafkan. Namun untuk melupakan. Kami dengan tegas menyatakan: tidak!
Kami sadar, apa yang kami alami adalah bagian dari risiko perjuangan menuntut keadilan dan transparansi. Namun yang kami sesalkan adalah, alih-alih mendapatkan perlindungan dan dukungan dari pemimpin yang kami bela. Kami justru dibenturkan dengan institusi-institusi negara yang mestinya mengayomi dan melayani. Kami tidak mendapatkan ruang untuk menyampaikan aspirasi, kami bahkan tidak pernah dijangkau oleh tangan hangat dari pemimpin yang selama ini kami hormati dan banggakan.
Kini, ketika Bapak Prabowo Subianto telah menjadi Presiden Republik Indonesia, kami para eks tapol Mei 2019, kembali menyuarakan harapan kami. Bukan untuk meminta jabatan, bukan untuk menuntut kompensasi, apalagi fasilitas. Kami hanya ingin pengakuan, rangkulan, dan sapaan hangat dari seorang pemimpin kepada rakyat yang tetap setia di tengah derita.
Kami ingin dikenali bukan sebagai beban sejarah, tetapi sebagai bagian dari perjalanan panjang demokrasi bangsa ini. Kami ingin dihargai atas kesetiaan kami, atas perjuangan kami yang dahulu pernah berdiri tegak di belakang Bapak Prabowo Subianto, bukan karena ambisi, tetapi karena harapan dan keyakinan.
Kami percaya, Bapak Prabowo adalah sosok yang memahami arti setia dan arti perjuangan. Karena itu kami masih berharap, semoga di bawah kepemimpinan beliau sebagai Presiden RI, tidak ada lagi rakyat yang harus dikorbankan atas nama kepentingan politik.
Semoga pintu komunikasi terbuka, setidaknya agar kami, anak-anak bangsa yang dulu berdarah-darah, bisa bersalaman dan menyampaikan cerita kami langsung — bukan dalam amarah, tetapi dalam semangat rekonsiliasi dan keadilan.
Dari kami, para eks Tapol 21–22 Mei 2019, yang tidak pernah minta lebih. Kami hanya ingin diingat. Karena melupakan adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah. (**)
Oleh Kurniawan, Eks Tapol 21–22 Mei 2019.
Editor: Muhammad Furqon