MOMENTUM -- Di tengah dominasi layar ponsel dan budaya scrolling tanpa henti, siapa sangka koran cetak kembali dilirik anak muda? Media yang dulu identik dengan generasi orang tua kini justru menemukan semangat baru di kalangan usia 20–35 tahun. Meski digital begitu cepat, koran menawarkan sesuatu yang tidak bisa digantikan—ketenangan dan kedalaman informasi.
Sebuah survei dari Lembaga Riset Media Nusantara (2024) mencatat bahwa 25% pembaca aktif koran cetak berasal dari kalangan milenial dan Gen Z awal. Tak sedikit dari mereka mengaku lebih nyaman membaca berita dalam bentuk cetak karena membantu fokus dan mengurangi overload informasi dari media sosial.
“Beda rasanya saat membuka halaman koran pagi sambil ngopi. Ada sensasi tenang yang nggak bisa didapat dari HP,” ungkap Dita (27), desainer grafis asal Jakarta. Bagi sebagian anak muda, koran bukan cuma alat baca—tapi juga bagian dari ritual self-care. Bahkan, banyak yang mengoleksi halaman depan koran untuk keperluan seni dan dekorasi.
Lebih dari sekadar nostalgia, koran menghadirkan kualitas. Proses seleksi berita yang ketat, penulisan mendalam, dan minimnya clickbait menjadikan koran sebagai sumber informasi yang dipercaya. Di tengah banjir hoaks di media sosial, banyak anak muda mulai sadar pentingnya literasi kritis—dan mereka kembali ke koran sebagai salah satu solusinya.
Tak tinggal diam, sejumlah media cetak seperti Kompas dan Tempo mulai beradaptasi dengan tren anak muda. Desain visual yang lebih modern, kolom opini dari figur muda, serta fitur QR code untuk mengakses konten digital menjadi jembatan antara dua dunia: cetak dan daring.
Lalu, apakah koran masih relevan di era digital ini? Bagi generasi muda yang semakin selektif dalam memilih informasi, jawabannya: ya. Koran kini bukan hanya kertas berisi berita, tapi simbol dari sikap kritis dan kesadaran memilih informasi yang berkualitas. Mungkin, inilah saatnya kita membuka lembar baru—secara harfiah. (**)
Oleh M Taufanni Y - Guru, Mergangsan Yogyakarta
Editor: Muhammad Furqon