MOMENTUM, Bandarlampung--Kehadiran Papua dan Papua Barat merupakan bagian dari NKRI, pengakuan juga telah diberikan oleh PBB selaku perwakilan suara dari masyarakat internasional, oleh karena itu tidak ada kepentingan maupun pihak yang dapat merubah hal tersebut, Papua adalah Indonesia.
Tanah Papua kini sedang dalam kondisi yang rentan, maraknya hoaks rasisme mengakibatkan konflik di Wamena hingga menimbulkan 32 korban jiwa, tentunya perlu dipertanyakan motif sebenarya dibalik peristiwa yang terjadi. Dugaan terkuat motif dibalik kerusuhan Wamena karena ada upaya penciptaan konflik agar para aktivis separatis Papua dapat mengangkat isu pelanggaran HAM pada sidang PBB.
Kapolri Jendral Tito Karnavian juga mengungkapkan ada andil dari kelompok separatis Papua dalam menciptakan konflik di Wamena, dengan tujuan ketika digelarnya rapat komisi HAM PBB di Jenewa akan banyak media yang mengagkat pemberitaan mengenai konflik di Wamena.
Pernyataan Kapolri terbukti benar, pada pertemuan wakil Indonesia dengan Sekjen PBB pada 10 September 2019 di New York, Amerika Serikat, Indonesia terus diserang menggunakan isu HAM di Wamena oleh Vanuatu, namun hal tersebut berhasil dibantah oleh perwakilan Indonesia yang diwakilkan oleh Rayyanul Sangaji dengan mengatakan bahwa tujuan utama Vanuatu bukan karena kepedulian terhadap HAM, melainkan kepentingan Vanuatu dalam mendukung gerakan separatis di Indonesia.
Vanuatu menjadi negara tempat terbentuknya kelompok separatis Indonesia "United Liberation Movement for West Papua" yang digagas oleh Benny Wenda. Polisi telah menangkap 85 orang yang diduga sebagai provokator dan penyebar hoaks yang mengakibatkan kericuhan di Wamena.
Momen pertemuan wakil Indonesia dan Sekjen PBB menghasilkan putusan pahit bagi gerakan separatis Papua, PBB memutuskan bahwa Papua merupakan bagian dari negara Republik Indonesia dan tidak dapat diganggu gugat. PBB sepenuhnya menyatakan dukungan terhadap Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia berdasarkan uti possideti iuris, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.
Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat yang dilakukan pada 1969 tidak mungkin dibatalkan, itu merupakan hasil vote masyarakat papua yang menginginkan untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, tidak ada satu negara pun yang menentang hasil vote tersebut dan hasilnya diterima lalu disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.2504/1969. Putusan tersebut bersifat final dan Indonesia tidak mungkin melakukan referendum Papua dua kali.
Alasan berikutnya yang juga menampar para aktivis separatis bahwa PBB melihat adanya outcome dari pembangunan Papua pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo, banyak isu yang beredar terkait “Papua yang tidak pernah diperhatikan oleh Pemerintah” namun isu tersebut otomatis terbantahkan dengan pembangunan nyata yang dilakukan oleh Pemerintah.
Dengan pesatnya perkembangan infrastruktur maupun pertumbuhan ekonomi di Papua pada era pemerintahan presiden Jokowi menunjukan betapa pedulinya Pemerintah terhadap tanah Papua, ayo kita turut membantu Pemerintah dalam menciptakan situasi yang kondusif di tanah Papua, dengan tidak mudah percaya dengan hoaks dan isu provokasi. Marilah wujudkan sila ke-3, Persatuan Indonesia.(**)
HIDUP INDONESIAKU, KITA SATU!!!.
Oleh: Argo DP. Penulis merupakan penggiat sosial politik
Editor: Harian Momentum