MOMENTUM, Bandarlampung--Permasalahan terbatas amandemen 1945 kembali memanas ketika terjadi salah pemahaman atau kurangnya komunikasi politik antara pihak Istana dengan MPR RI, namun sebenarnya sejak UUD 1945 diamandemen di awal reformasi, kita tidak pernah merasakan "positive outcome" dari kegiatan politik dan hukum tersebut bagi masyarakat awam, padahal telah menelan biaya tidak sedikit.
Adalah Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP Ahmad Basarah menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional dalam menyikapi isu perihal amandemen UUD 1945.
Pernyataan Basarah ini kemudian ditanggapi Istana melalui salah satu staf khusus Presiden. "Pak Jokowi sebenarnya biasa saja dalam menanggapi wacana amandemen UUD 45," kata Stafsus Presiden bidang hukum Dini Shanti Purwono kepada wartawan, Jumat (6/12/2019).
Dini menegaskan Jokowi tidak emosional dalam menanggapi wacana itu. Hanya saja, kata dia, Jokowi khawatir amandemen UUD 1945 melebar ke mana-mana, karena dapat mencederai demokrasi.
Jokowi juga enggan muncul persepsi publik bahwa dirinya ingin mempertahankan posisinya sebagai presiden.
"Bapak juga tidak ingin ada persepsi publik bahwa Bapak masih ingin 1 periode lagi. Karena itu sama sekali tidak ada di benak beliau. Bapak taat kepada konstitusi dan ingin agar demokrasi Indonesia terawat dengan baik," tutur Dini.
Sebenarnya apa yang dikemukakan pihak Istana tersebut adalah benar, sebab jika saja jabatan Presiden diformat bisa 3 periode maka sama saja dengan menimbulkan setback bagi demokrasi. Dan, Jokowi yang mendapat gelar "Asian of the Year 2019" wajar jika melihat "notion" tersebut sebagai "upaya cari muka dan menjerumuskannya". Diksi tersebut ingin menunjukkan jika Jokowi komitmen dengan konstitusi bahwa jabatan presiden hanya 2 periode saja.
Jika UUD 1945 mau diamandemen, ada beberapa hal yang mendesak untuk dibahas antara lain : pertama, bagaimana hasil amandemen UUD 1945 bisa memproteksi perekonomian nasional dan sumber daya alam tidak tercaplok diam diam oleh kepentingan asing, anasir asing, "foreign stooge" maupun "foreign crooks" yang mengintai "trove" Indonesia yang masih melimpah.
Kedua, bagaimana hasil amandemen UUD 1945 nanti bisa memproteksi dan membela tenaga kerja Indonesia dari fenomena membanjirnya tenaga kerja asing seiring masuknya investasi asing ke Indonesia. Amandemen UUD 1945 perlu menjamin investasi dan pinjaman luar negeri harus digunakan untuk menggerakkan perekonomian rakyat Indonesia bukan ekonomi negara lainnya.
Ketiga, bagaimana hasil amandemen UUD 1945 dapat menghilangkan oligarchy politics dan "plutarchy politics among all of political stem in Indonesia", yang merupakan "anak kandung" dari amandemen UUD 1945 sebelumnya jelas jelas kurang cocok dengan demokrasi Pancasila.(**)
Oleh : Agung Wahyudin dan TW Deora. Penulis adalah kolumnis dan dosen.
Editor: Harian Momentum