MOMENTUM, Bandarlampung--Internasionalisasi isu kolonialisme di tanah Papua hingga saat ini masih terus dilakukan oleh para aktivis dan pendukung kemerdekaan West Papua seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda maupun Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dipimpin Agus Kossay, dengan mengedepankan isu ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di Papua.
Kelompok separtis Papua tersebut selalu berupaya untuk meyakinkan dunia internasional bahwa telah terjadi kesengsaraan yang menimpa orang asli Papua dan mengarahkan isu adanya kolonialisme modern yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Mereka selalu mengedepankan isu kolonialisme di Papua, isu aneksasi kekuasaan Indonesia yang dilakukan oleh Soekarno melalui Tri Komando Rakyat (Trikora), isu politik adu domba orang-orang asli Papua, maupun isu penjajahan melalui politik asimilisasi (Indonesianisasi) dengan menjadikan bangsa Papua sebagai jajahan Indonesia.
Padahal, masih adanya kelompok separatis bersenjata di Papua, seperti salah satunya peristiwa di Nduga, penyanderaan warga di Timika, kontak tembak yang mengakibatkan tewasnya aparat keamanan di Papua, aksi kerusuhan di Wamena hingga eksistensi mereka di media sosial yang berupaya menginternasionalisasi isu Papua, merupakan bukti serius akar permasalahan di Papua ada pada kelompok-kelompok separatis yang pada dasarnya ingin membuat situasi di Papua tidak kondusif.
Menurut Macmillan Dictionary, separatisme adalah “sekelompok orang yang menginginkan kemerdekaan melalui sebuah gerakan memisahkan diri, terpisah dari kesatuan, atau entitas negara berdaulat, dengan dilandasi semangat nasionalisme, keagamaan maupun kelompok dari mana mereka berasal”. Target atau sasaran kelompok gerakan separatis yaitu memberikan ancaman kepada masyarakat di luar kelompoknya dan tentunya pemerintah yang berkuasa dengan tujuan agar kelompok separatis mendapatkan hak-hak pemisahan diri dari suatu wilayah bahkan Negara. Kondisi tersebut yang nampaknya dimainkan oleh kelompok separatis Papua untuk mendapatkan simpatik masyarakat Papua, yang pada dasarnya tidak berkeinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengutip Kompas.com, Kapolri pada saat itu, Jenderal Tito Karnavian berpandangan bahwa situasi keamanan di Papua belum benar-benar kondusif dan potensi gangguan keamanan akan terus ada, selama tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok pemicu kerusuhan di Papua belum ditangkap. Kelompok yang disebut Tito adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang notabene merupakan organisasi politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat.
Berkembangnya isu rasisme di Papua serta serangkaian kejadian konflik Papua di tahun 2019 pada dasarnya dapat menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan rumusan strategi penyelesaian di tanah Papua dengan mengedepankan kedaulatan Negara di tanah Papua.
Narasi keberadaan Negara dalam stabilitas keamanan di Papua serta prioritas pemerintah terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat Papua perlu terekspose ke dunia internasional, karena selama ini narasi diskriminasi orang asli Papua dan pendudukan militer selalu dimainkan oleh kelompok separatis Papua, sehingga hal tersebut merugikan Indonesia.
Kontra opini dengan narasi yang baik dan berimbang harus cepat dan tepat digulirkan agar momentum dapat dimanfaatkan dengan baik, sehingga menyadarkan dunia internasional bahwa selama ini isu yang dimainkan oleh ULMWP dan KNPB serta kelompok pendukungnya tidak benar.
Kedaulatan NKRI di Papua harus dibangun di dunia internasional. Banyaknya pemberitaaan miring tentang Indonesia terhadap Orang Asli Papua dan beredarnya berita hoax maupun hate speech terhadap aparat baik TNI dan Polri belum diimbangi dengan narasi positif atas kinerja Pemerintah dalam menangani Papua. Kemenlu pun perlu lebih masif berdiplomasi kepada berbagai Negara dan di PBB terkait kedaulatan NKRI di Papua, dengan mengampanyekan penanganan Papua di luar negeri yaitu dengan program 3P (penyelesaian pelanggaran HAM, penegakkan HAM di masa depan dan pembangunan infrastruktur).
Di sisi lain, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah meluncurkan buku Papua Road Map (PRM) Jilid II berisikan agenda penyelesaian persoalan di Papua yang saling terkait. Pertama, rekognisi yang berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi yang mereka alami. Kedua, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik. Ketiga, dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi melihat masa depan. Keempat, rekonsiliasi yang berorientasi pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.
Dari rekomendasi empat agenda penyelesaian persoalan Papua dari LIPI tersebut menunjukkan bahwa penanganan berbeda dari masing-masing permasalahan di Papua, sehingga tidak salah sasaran dan dapat dijadikan sebagai strategi menangkal isu Papua Merdeka.(**)
Oleh : Iqbal Fadillah
Editor: Harian Momentum