MOMENTUM -- Pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Pesawaran menjadi tantangan tersendiri di tengah keterbatasan anggaran daerah.
Kebijakan efisiensi anggaran yang diatur dalam Inpres No.1/2025 dan KMK No.29/2025, mempersempit ruang fiskal. Sementara PSU memerlukan biaya tambahan yang tidak sedikit. Realokasi anggaran untuk PSU berisiko mengganggu program prioritas daerah.
Dalam kondisi ini, bagaimana Pesawaran dapat menanggung beban PSU tanpa mengorbankan pembangunan dan layanan publik?
PSU dan Tekanan terhadap APBD
Beban PSU ini tidak hanya dialami oleh Pesawaran tetapi juga terjadi di 24 daerah lain yang menghadapi kewajiban serupa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Pemda terpaksa melakukan realokasi anggaran dari berbagai program/kegiatan yang telah ditetapkan demi menutupi kebutuhan PSU yang rencananya dilaksanakan akhir Mei 2025.
Situasi ini semakin sulit karena kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan dari pusat mengharuskan daerah untuk lebih ketat dalam mengelola belanja mereka alih-alih memenuhi belanja wajib sesuai UU No. 1 Tahun 2022. Akibatnya, terjadi dilema antara memenuhi kewajiban konstitusional dalam penyelenggaraan demokrasi dan mempertahankan keseimbangan fiskal daerah.
Pendanaan PSU merupakan kewajiban daerah melalui APBD dengan skema hibah sesuai ketentuan perundang-undangan. Dengan kondisi fiskal Kabupaten Pesawaran yang terus mengalami defisit riil dimana dana kas yang tersedia tidak cukup membiayai program/kegiatan yang telah dilaksanakan, tambahan beban ini semakin memperumit pengelolaan keuangan daerah. Data menunjukkan bahwa defisit riil daerah ini terus meningkat, dari Rp28,14 miliar pada 2020, menjadi Rp35,08 miliar pada 2021, melonjak ke Rp77,95 miliar pada 2022, dan semakin membengkak mencapai Rp97,58 miliar pada 2023. Data ini menandakan tekanan fiskal yang besar yang kini diperparah dengan kebutuhan anggaran PSU yang diperkirakan mencapai Rp16 miliar.
Di satu sisi, pemda berusaha menerapkan kebijakan efisiensi untuk menekan belanja yang tidak mendesak. Di sisi lain, PSU adalah sebuah kewajiban konstitusional yang tidak bisa dihindari. Hal ini menempatkan pemda dalam posisi sulit: mengorbankan program prioritas atau mencari skema pendanaan alternatif agar PSU tidak menambah tekanan terhadap anggaran yang sudah terbatas.
Pembangunan dan Pelayanan Publik
PSU mengganggu stabilitas fiskal daerah dengan menunda pembangunan dan memangkas anggaran sektor penting. Proyek infrastruktur yang telah direncanakan bisa tertunda atau bahkan dibatalkan karena penyesuaian struktur anggaran. Sektor pendidikan, kesehatan, dan sosial pun rentan terkena dampaknya akibat alokasi dana yang berubah untuk menutupi pembiayaan PSU. Jika kondisi ini terus terjadi tanpa perencanaan fiskal yang matang, daerah berisiko mengalami defisit anggaran atau harus mengandalkan dana talangan dari pusat yang belum tentu tersedia tepat waktu.
Dalam konteks efisiensi anggaran, PSU menjadi sebuah anomali. Pemerintah pusat dan daerah sama-sama berupaya menekan belanja, tetapi pada saat yang sama, PSU justru menambah beban pengeluaran yang tidak dapat dihindari.
Solusi Masa Depan
Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor kunci dalam mengatasi dampak PSU terhadap anggaran. Pemerintah pusat perlu menetapkan tanggung jawab pembiayaan PSU secara lebih jelas agar daerah tidak kehilangan ruang fiskal untuk kebutuhan lainnya. Dukungan dana tak terduga dari APBN harus lebih terstruktur, sehingga daerah yang terdampak PSU tidak harus mengorbankan program prioritasnya. Dengan strategi yang tepat, PSU tidak akan menjadi hambatan utama bagi efisiensi anggaran dan pembangunan daerah.
Selain itu, manajemen keuangan daerah harus lebih adaptif. Pemda perlu menyusun skema anggaran yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan kemungkinan PSU dalam setiap siklus pemilu. Alternatif pendanaan, seperti dana cadangan atau skema bantuan dari pusat yang lebih jelas, harus dirancang agar beban fiskal tidak sepenuhnya ditanggung oleh daerah.
Demokrasi dan Anggaran yang Rasional
Demokrasi memang memiliki harga yang harus dibayar dan PSU adalah bagian dari mekanisme menjaga legitimasi pemilu. Namun, biaya yang dikeluarkan tidak boleh mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas. Jika PSU terus terjadi tanpa perbaikan sistemik maka daerah akan selalu menghadapi dilema antara menjalankan kewajiban konstitusional dan menjaga keseimbangan fiskal.
Pemda tidak boleh dibiarkan sendiri dalam menghadapi konsekuensi finansial PSU. Diperlukan kebijakan yang lebih terstruktur agar PSU tidak menjadi ancaman bagi keberlanjutan pembangunan daerah. (**)
Oleh Saring Suhendro - Akademisi FEB Universitas Lampung dan Pengurus ISEI Lampung
Editor: Muhammad Furqon