MOMENTUM, Bandarlampung--Pemilihan kepala daerah atau Pilkada yang sudah digelar sejak tahun 2005 sampai 2018 berjalan melewati banyak fase, termasuk “onak dan durinya”. Tujuan hajatan politik tersebut sebenarnya mulia yaitu meningkatkan kualitas demokrasi clan kesejahteraan, namun faktanya seringkali diganggu pragmatisme politik yang mengental dan libido politik untuk berkuasa yang tidak terkendalikan. Mulai era reformasi, tahun 1999, bangsa ini sepakat memperkuat kewenangan daerah dan memangkas hegemoni pemerintah pusat. Demi menguatkan kedaulatan rakyat dan mengikis oligarki elite dan terjadinya plutarki politik, sejak tahun 2005 kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, seperti halnya presiden. Di era Orde Baru, gubernur, wali kota, dan bupati dipilih oleh DPRD.
Tujuan pemilihan langsung, pertama, untuk meningkatkan kedaulatan dan partisipasi politik rakyat Kedua, mendorong kemunculan pemimpin yang berakar. Ketiga, meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah. Keempat, meningkatkan kesejahteraan daerah. Kelima, terciptanya tata kelola pemerintahan yang semakin membaik. Keenam, dukungan masyarakat atau sense of belonging atas hasil Pilkada semakin menguat. Ketujuh, demokrasi semakin sehat.
Tahun 2015, Pilkada memasuki fase penting berikutnya. Untuk mengurangi gejolak politik dari Pilkada yang berlangsung sangat banyak dan hampir setiap pekan, tetapi tidak mengurangi partisipasi politik rakyat, bangsa ini sepakat menyelaraskan pelaksanaan Pilkada digelar secara serentak, walaupun “nama serentak” ternyata juga bukan perkara mudah untuk direalisasikan, karena Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 walaupun ada embel-embel “serentak”, tapi faktanya ada juga beberapa daerah yang mengalami penundaan pelaksanaan Pilkadanya tidak seperti hari H yang dijadwalkan secara nasional. Penyebabnya sangat beragam mulai politis, teknis sampai non teknis.
Pengelompokan Pilkada dilakukan mulai tahun 2015, 2017, dan 2018. Proses transisi akan dimatangkan tahun 2020, dan sesuai pasal 201 ayat (9) UU No 10/2016 tentang Pemitihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, akan digelar Pilkada serentak secara nasional tahun 2024. Harapannya, Pilkada serentak itu dapat menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Kita berharap perjalanan panjang Pilkada itu pada akhirnya akan mengantarkan bangsa ini pada tujuan.
Sayangnya, mencermati perjalanan itu selalu ada upaya secara sistematis atau sporadis untuk membalikkan atau membelokan arah. Tahun 2014 pernah ada upaya untuk mengembalikan pernilihan kepala daerah kepada DPRD. Upaya itu mendapat tentangan keras dari kelompok masyarakat madani sehingga rencana itu pun diurungkan. Proses pencalonan kepala daerah yang elitis masih terus terjadi, bahkan cenderung semakin menjadi di Pilkada 2020, bahkan ada keinginan menjadikan masa depan politik Indonesia menjadi oligarki, plutarki bahkan monarki. Penjaringan calon belum proaktif mencari sosok potensial demi terpilihnya pemimpin terbaik, tetapi lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan. Ketimbang mencari tokoh potensial di akar rumput, lebih senang menerima drop-dropan dari petinggi. Proses penetapan calon pun ada kecenderungn makin didominasi elite partai di pusat ketimbang mendidik pengurus partai di daerah untuk semakin meningkatkan kualitas berdemokrasi.
Pragmatisme partai politik menjadikan Pilkada sekadar untuk memenangi pertarungan pun menjadi sangat kuat. Strategi "borong gerbong" demi calon tunggal merupakan salah satu bentuknya. Idealisme partai menjadikan pilkada sebagai alat pengaderan kepemimpinan semakin dilupakan. Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menjaga pelak-sanaan Pilkada tetap berjalan di relnya. Tanpa itu, hal ini akan menghabiskan waktu tanpa tujuan tidak menentu. Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, lembaga negara, perguruan tinggi, masyarakat madani, dan terlebih parpol yang sudah terlelap semoga segera terjaga.
Asa Pilkada 2020 untuk menghasilkan kepala daerah yang bermutu juga semakin jauh dari harapan, terbukti mantan koruptor masih diperbolehkan maju dalam Pilkada, walaupun berdasarkan keputusan MK tanggal 11 Desember 2019, mereka harus “istirahat dulu” selama 5 tahun sebelum maju dalam Pilkada. Seharusnya, jika sistem demokrasi dan politik di negara ini sudah tertata dengan baik, maka peluang mantan koruptor maju dalam Pilkada ditutup rapat, karena tidak elok “bekas maling” menjadi pemimpin.
Alasan bahwa setiap orang mempunyai hak politik dan demokrasi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, namun kita harus bertanya kembali apakah ketika mereka “mencopet dan mencuri atau mengorupsi” uang negara memperhatikan hak asasi manusia kelompok masyarakat rentan yang hidupnya semakin susah akibat praktik korupsi yang masif atau mereka melupakan HAM orang lain saat jadi “maling alias koruptor”?
Bangsa ini akan semakin aneh dan dijauhi oleh komunitas masyarakat global jika sampai mantan koruptor terpilih dalam Pilkada, karena terpilihnya mereka seakan-akan efek dari banyak sebab antara lain : kegagalan kaderisasi Parpol (sehingga perlu dipertanyakan dana bantuan Parpol); muncul image di negara ini tidak ada stok pemimpin yang bermoral baik dan tidak pernah korupsi; investor akan semakin kabur dari Indonesia karena korupsi memperparah penyakit ekonomi bangsa ini; muncul sentimen negatif bahwa bangsa ini adalah bangsa bodoh karena memilih mantan “copet alias maling alias koruptor” sebagai pemimpinnya. Last but not least, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali korupsi ketika menjabat, apalagi hukuman terhadap koruptor di Indonesia terbilang masih remeh temeh.(**)
Oleh : Otjih Sewandarijatun. Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.
Editor: Harian Momentum