MOMENTUM, Bandarlampung--Data-data ekonomi global menunjukan tren pelemahan ekonomi yang semakin dalam karena pesimisme yang ditimbulkan oleh perang dagang Amerika Seniat (AS)-China yang berkepanjangan. Ekonomi AS yang pada saat dimulamya perang dagang di 2018 tumbuh 2,9 persen, di tahun 2019 hanya tumbuh 2,3 persen dan tahun 2020 kemungkinan hanya 2,0 persen.
Angka indeks manufaktur AS di bulan November 2019 hanya berada di level 48, artinya di bawah level 50 selama empat bulan berturut-turut. Jadi, perang dagang yang diciptakan Trump ternyata berdampak buruk bukan hanya pada ekonomi China, melainkan juga pada ekonomi AS.
Pertumbuhan ekonomi China bahkan diprediksi tahun 2020 turun menjadi hanya 5,8 persen. Pasar obligasi di AS sudah merefleksikan perlambatan ekonomi, yaitu dengan turunnya imbal basil (yield) surat utang jangka panjang Pemerintah AS (Trea-sury Bonds) dalam satu tahun terakhir dad 30 persen di Oktober 2018 ke 1,7 persen di Desember 2019. Tetapi, pasar saham di AS tampaknya masih "terlena" karena indeks saham Dow Jones tents meningkat. Mungkin investor berharap penurunan saint bungs AS akan mampu mengobati kelesuan ekonomi AS.
Outlook ke depan yang kita harus perhatikan di kuartal 1-2020 apakah Trump akan menurunkan tensi perang dagng atau bahkan semakin kencang menekan China, artinya dia tidak peduli dampaknya pada resesi ekonomi AS. Jika Trump meneruskan perang dagang, maka perlambatan ekonomi AS pada akhirnya akan menyebabkan penurunan pasar saham di AS dan ini akan berdampak semakin buruk pada kondisi pasar saham di negara berkembang.
Beberapa ekonom internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun lagi dari 2,9 persen di tahun 2018, menjadi 2,3 persen di 2019, dan 2,0 persen di 2020. Di Eropa kondisi juga tak menggembirakan. Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa menunjukkan angka Indeks Manufacturing Orders yang menurun. China sebagai negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia, pertumbuhan ekonominya terus menurun, dari 6,6 persen di 2018, menjadi 6,2 persen tahun ini, dan diperkirakan turun ke 6,0 persen di 2020, bahkan mungkin jadi 5,8 persen.
Proyeksi terkait ancaman resesi ekonomi global tahun 2020 tidak hanya dikemukakan Bank Dunia, namun juga oleh IMF dan The Fed. Faktor pemicu kemungkinan resesi ekonomi global di tahun 2020 antara lain belum berakhirnya perang dagang AS vs Cina, serta menegangnya hubungan perdagangan AS dengan beberapa negara seperti Perancis, Canada dan Meksiko. Pemerintah mendapatkan pelajaran penting selama tahun 2019 antara lain menurunnya ekonomi global diimbangi dengan membuat sinergi bauran kebijakan makro ekonomi dan sistem keuangan yang diperkuat untuk ketahanan ekonomi nasional. Transformasi ekonomi ditingkatkan melalui industri manufaktur dan pariwisata, inovasi dalam ekonomi dan keuangan digital dan mempersempit kesenjangan ekonomi.
Potret Ekonomi Domestik
Menurunnya kinerja ekonomi pasti berdampak pada kualitas portofolio perbankan. Angka kredit bermasalah yang semula sudah membaik dan 32 persen di pertengahan 2015 menjadi 2,4 persen di akhir 2018, meningkat lagi ke 2,7 persen di September 2019. Perlambatan ekonomi global menurunkan kinerja sektor ekspor dan menekan Iebih dalam lagi sektor komoditas tambang dan komoditas perkebunan yang pada gilirannya kredit bermasalah ke depan berisiko semakin meningkat. Namun, ketahanan pemodalan perbankan Indonesia masih tinggi karena angka kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di atas 20 persen dan rasio pencadangan kredit di atas 100 persen. Pertumbuhan kredit melambat hanya 8 persen.
Pesatnya sektor infrastruktur ternyata tak dibarengi tumbuhnya aktivitas produksi, terbukti kredit usaha di luar sektor konstruksi tumbuh rendah. Kredit ke sektor perdagangan dan manufaktur hanya tumbuh 4,7 persen dan 5,6 persen, padahal dua sektor itu punya pangsa sekitar 38 persen dari total kredit perbankan.
Utang luar negeri (ULN) yang cenderung meningkat, namun struktur utang luar negeri (ULN) Indonesia tetap terkontrol karena didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya, dan struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 88,4 persen dari total ULN. Sepanjang pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan seperti jasa kesehatan dan kegiatan sosial, konstruksi, jasa pendidikan, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib serta jasa keuangan dan asuransi, maka Indonesia mungkin tidak akan mengalami “economic shortfall”, jika proyeksi resesi ekonomi di tahun 2020 menjadi kenyataan.
Sementara, sampai November 2019, penerimaan mencapai Rp1.135,8 Triliun atau 72 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,5 Triliun. Dengan kinerja penerimaan tersebut, apabila mengikuti tren penerimaan dalam 2 tahun terakhir (2017-2018), setoran pajak yang dikumpulkan otoritas perpajakan berada pada kisaran 87,7-88,3 persen artinya dengan target penerimaan pajak sebesar Rp1.642,6 Triliun pada 2020, pertumbuhan penerimaan pajak yang harus dikejar pemerintah berada di kisaran 19 persen. Untuk mencapai target tersebut bukan perkara mudah, karena tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih dibawah standar/rendah dan dinamika perekonomian nasional yang tergantung kepada perekonomian global, sedangkan motor-motor ekonomi global diproyeksikan pada 2020 hanya mencapai pertumbuhan 3 sampai dengan 4 persen, kecuali Cina yang masih 6 persen.
Pemerintah Indonesia sudah melakukan strategi dalam memperkecil peluang resiko shortfall pajak dari mulai pemberian insentif fiskal kepada pelaku ekonomi dan wajib pajak agar dapat menjaring investasi, mencanangkan pengampunan pajak hingga mempercepat proses RUU Omnibus Law perpajakan dalam konteks harmonisasi aturan pajak pusat dan daerah. Di level Ditjen Pajak juga melakukan inovasi adaptasi dengan mewacanakan pergeseran sistem perpajakan world wide ke territorial, termasuk memacu pertumbuhan pajak diikuti dengan komitmen serius membangun data sentral perpajakan yang kuat dan akurat.
Berbagai paket deregulasi ekonomi yang dibuat pada periode 2015-2019 ternyata tidak efektif mendorong kegiatan berusaha. Hambatan investasi ada di berbagai peraturan di berbagai kementerian dan di pemerintah daerah. Presiden Jokowi mengatakan bahwa birokrasi kita senang membuat banyak aturan, dan aturannya berganti terus. Problemnya, sejak otonomi daerah, banyak wewenang pemberian ijin investasi berada di daerah. Gubemur dan bupati setiap lima tahun berganti, birokrasi Pemda juga berubah. Belum lagi problem proses Pilkada yang berbiaya tinggi. Presiden mengatakan bahwa izin untuk aktivitas produksi ekspor dan substitusi impor harus dipermudah. Jika negara ini ingin mempunyai kurs yang stabil seperti Thailand, defisit ekspor impor barang dan jasa (defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit/CAD) yang besarnya 30 Miliar Dollar AS per tahun harus dibalikkan menjadi positif. CAD artinya derma valuta asing. Jika ingin kurs stabil, suplai valas harus berlebih. Artinya, aktivitas produksi ba-rang ekspor dan pariwisata harus didorong dengan serius agar suplai valas bertambah. Untuk menghilangkan hambatan investasi di berbagai kementerian dan di Pemda, Presiden bertekad menerbitkan Omnibus Law (UU Omnibus) terkait penciptaan lapangan kerja dan perpajakan. Sekitar 74 UU yang menghambat investasi harus diselaraskan oleh UU Omnibus.
Untuk mengantisipasi ancaman dan tantangan ekonomi Indonesia di tahun 2020, maka penguatan dan pengembangan industri nasional masih menghadapi sejumlah tantangan yaitu : pertama, tingginya harga bahan baku. Di samping itu, mengidentifikasi sejumlah bahan baku yang masih cukup banyak dibutuhkan sektor industri di dalam negeri, di antaranya kondensat, gas, nafta, bijih besi, bahan penolong seperti katalis, scrap (besi bekas), kertas bekas, dan nitrogen. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong tumbuhnya industri hulu, seperti sektor kimia dasar dan logam dasar. Kedua, perlunya penambahan infrastruktur seperti pelabuhan dan akses jalan yang terintegrasi. Ketiga, berkaitan dengan kurangnya utilitas, seperti seperti listrik, air, gas, dan pengolahan limbah (waste treatment) di kawasan-kawasan yang diproyeksikan menjadi kawasan industri. Keempat, menyiapkan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan pendidikan vokasi yang link and match dengan industri. Kelima, mindset tentang limbah. Keenam, industri kecil dan menengah (IKM) membutuhkan revitalisasi teknologi agar produktivitasnya lebih meningkat dan efisien. Ketujuh, tantangan industri adalah akses pasar dan tekanan impor.(**)
Oleh : Toni Ervianto. Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia. Alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).
Editor: Harian Momentum