MOMENTUM, Bandarlampung--Term dakwah, pada substansinya bukan hanya mengajak beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi untuk kemudian diarahkan kepada kondisi yang lebih maju dan sejahtera. Namun, permasalahannya adalah bagaimana praktik yang dibenarkan dalam metode dakwah tersebut.
Dewasa ini, Front Pembela Islam (FPI) menjadi organisasi berbasis islam yang mengklaim menegakkan amar makruf nahi munkar, namun, cenderung radikal dalam berdakwah. Jika kita menilik beberapa tahun ke belakang, FPI gencar melancarkan sweeping atribut natal, pengerusakan tempat hiburan malam, hingga merusak rumah makan yang buka siang hari saat Ramadan.
Doktrin Amar makruf nahi munkar digunakan oknum FPI untuk bersikap intoleran dan berbuat kekerasan. Pemahaman seperti ini biasanya anti kritik dan anti nalar. Fakta mengejutkan juga terungkap dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI yang menyebut visi misi organisasi bernaung pada khilafah islamiyah melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad.
Tindakan radikal FPI menimbulkan rasa takut, bahkan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Tak heran, jika banyak kalangan menyebut FPI terlalu ikut campur dengan urusan politik dan kenegaraan Indonesia.
Yang terbaru, FPI mengklaim menemukan minuman keras hingga kondom di gelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) yang digelar 13, 14 dan 15 Desember 2019 di JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Praktik inteligen seperti itu seharusnya bukan dilakukan oleh ormas yang berlandaskan agama. Anehnya, FPI tak ingin membeberkan bagaimana cara mereka menemukan miras dan kondom tersebut saat ditanya oleh wartawan.
Momen perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI yang telah habis seharusnya menjadi batu loncatan pemerintah untuk mengkaji ulang penting tidaknya organisasi bawahan Rizieq Shihab itu. Selain ikrar janji setia pada NKRI, pemerintah bisa melakukan pendekatan secara multikulturalisme, komitmen pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, hingga Kohesi sosial.
Multikulturalisme di sini adalah upaya pendekatan dan memberi pemahaman kebebasan berekspresi sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang dasar 1945 amandemen II pasal 28 E ayat (2). Kebebasan berekspresi tersebut tentu harus dibarengi tentang pemahaman HAM yang selama ini dilanggar oleh oknum-oknum FPI dalam praktik dakwahnya.
FPI tentu boleh melakukan dakwah dan mengajak masyarakat beribadah sesuai syariat. Namun, pokok permasalahan di sini adalah praktik yang dilakukan dalam dakwah dan menegakkan syariat tidak boleh melanggar HAM. Negara ini telah mengakui adanya enam agama: islam, katolik, protestan, hindu, budha dan konghucu, sehingga tindakan sweeping, pengerusakan, hingga aksi inteligen berpotensi menimbulkan gesekan.
Pendekatan yang kedua yakni kewajiban berkomitman pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sekali lagi, tanah air ini dibentuk dari keanekaragaman agama, budaya, suku dan ras. Landasan itulah yang menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan.
Muara dari komitmen terhadap semboyan ini adalah tegaknya pancasila. Seperti yang disebutkan di atas, visi misi dalam AD/ART FPI menyebut organisasi bernaung pada khilafah islamiyah. Landasan itu memiliki makna yang buram. Bagaimana tidak? Saat ini, makna khilafah memiliki perspektif berupa menjadikan NKRI sebagai negara islam.
Penjelasan seperti apapun yang dilakukan petinggi FPI dalam menjabarkan AD/ART tersebut, tetap akan menjadikan kekhawatiran runtuhnya pancasila. Sehingga, komitmen terhadap semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dihukumi wajib. Kalau perlu, AD/ART tentang landasan visi misi di atas harus diubah menjadi landasan yang lebih tegas dalam kecintaan pada pancasila.
Pendekatan ketiga menitikberatkan kohesi sosial, di mana pemerintah dan FPI bersama-sama menemukan kesamaan demi terciptanya kedamaian. Langkah ini memang sangat diplomatik untuk ukuran ormas pelanggar HAM. Namun, perlu diingat, anggota-anggota FPI tetap menjadi bagian negara ini, sehingga untuk menjaga keutuhan NKRI perlu digunakan cara yang diplomatik.
Kohesi sosial bukan hanya diartikan menemukan persamaan di dalam perbedaan. Pada pengartian lain, kohesi sosial bisa bertindak tegas pada pelanggar-pelanggar hukum. Vandalisme tentu bukan hal yang dibebarkan, sehingga sehingga sanksi perlu diberlakukan.
Dari sekian langkah pendekatan di atas perlu strategi khusus oleh seorang ahli agar mencapai solusi yang harmoni. Namun, perlu diingat, organisasi radikal cenderung anti kritik dan anti nalar, sehingga tindakan konkrit dari pemerintah berupa tidak diperpanjangnya SKT dirasa lebih relevan.
Presiden Joko Widodo sudah berani membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia yang memiliki faham ekstimis, tindakan serupa boleh jadi juga diberlakukan pada ormas yang ingin menegakkan khilafah seperti FPI.(**)
Oleh : Almira Fadhillah. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjanq Universitas Gunadarma
Editor: Harian Momentum