MOMENTUM, Bandarlampung--Kasus suap yang melibatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mau tidak mau menyeret nama Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Selain Hasto Kristiyanto, dua staf khusus Hasto di PDIP yakni DON dan SAE ikut terseret dalam OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). SAE diduga adalah Saeful Bahri, orang kepercayaan Hasto, yang telah ditetapkan sebagai tersangka. SAE dan DON disangka sebagai mediator yang ditunjuk tersngka lainnya yang menjadi pemberi suap kepada Wahyu Setiawan yakni Politukus PDIP Masiku Harun.
Anggapan bahwa Hasto patut diduga terlibat dalam kasus berawal dari kenyataan bahwa Hasto dalam kapasitas sebagai Sekjen PDIP yang pernah meminta agar “kursi panas” yang ditinggalkan alm. Nazaruddin Kiemas di daerah pemilihan Sumatera Selatan-1 diserahkan kepada Harun Masiku, lelaki kelahiran tahun q971 ini juga pernah tercatat sebagai aktifis GMKI Sulawesi Selatan.
Hal itu disampaikan pertama kali oleh Hasto dalam rapat pleno penetapan caleg terpilih hasil Pemilu 2019 di akhir Agustus tahun lalu. Permintaan itu diulangi sebulan kemudian. PDIP membawa hasil pleno itu ke Mahkamah Agung (MA) yang dalam keputusannya menyatakan bahwa adalah partai yang berhak menentukan siapa yang memperoleh kursi “kursi panas” itu. Namun KPU kembali menolak dalam pleno tanggal 7 Januari lalu. Selain karena upaya-upaya yang dimotori Hasto, hal lain yang membuat nama Hasto ramai disebut-sebut terkait kasus ini adalah kenyataan bahwa Wahyu Setiawan juga ditangkap bersama sejumlah orang dekat Hasto yang membantunya sehari-hari dalam menjalankan tugas partai. Dengan demikian juga dapat dipahami apabila belakangan spekulasi mengenai pencopotan Hasto semakin marak. Sejumlah nama disebut berpeluang menggantikan Hasto pasca Rakernas PDIP yang sedang berlangsung di JIEXpo Jakarta.
Spekulasi lain yang berkembang mengatakan, ada skenario untuk menyelamatkan Hasto dari persoalan ini dengan memberikan tugas baru kepada Hasto sebagai dutabesar di negara sahabat. Menanggapi OTT yang yang dilakukan KPK ini, Adi Prayitno (Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia) menilai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri tidak akan melindungi siapapun kadernya yang terlibat kasus korupsi, ini termasuk juga kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Jika KPK menyatakan Hasto terlibat dan ditetapkan tersangka, PDIP pasti akan memecat Hasto. Tapi sebaliknya, jika KPK tidak menemukan alat bukti apapun, posisi Hasto aman di PDIP. Intinya, fakta hukum KPK akan menentukan nasib Hasto.
Pusaran kasus korupsi atau penyuapan terhadap Komisioner KPU RI yang menyeret PDIP. Di sisi lain, penangkapan tersebut juga bersamaan dengan penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang berlangsung di JI-Expo, Kemayoran, Jakpus. Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat yang memilih PDIP pada Pemilu 2019 lalu. Kemudian, hal ini juga akan menimbulkan kesan bahwa PDIP menang karena curang yang secara tidak langsung membuktikan narasi lawan politiknya pada Pemilu 2019 lalu. Di sisi lain, KPK terus berupaya mencari Harun Masiku yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus suap Komisioner KPU RI. Harun Masiku diduga menyuap dengan tujuan memuluskan langkahnya terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan Riezky Aprilia yang telah ditetapkan KPU sebelumnya.
Maka dari itu, PDIP sebagai partai besar dan berkuasa sudah seharusnya dapat memberikan contoh taat kepada hukum dan harus mendukung KPK menindaklanjuti kasus korupsi tersebut. Hal senada yang juga telah di klaim Ketua Bidang Politik Hukum dan Keamanan PDIP, Puan Maharani, yang turut memastikan bahwa PDIP merupakan partai yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Begitu pula terhadap proses hukum di KPK.
Berdasarkan teori, korupsi bisa terjadi karena ada diskresi dan monopoli, sehingga tidak ada fungsi pengawasan sama sekali. PDIP haruslah mendukung upaya yang dilakukan KPK bahkan jika KPK ingin menggeledah kantor DPP PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan juga jangan dihalangi atau ditolak karena itu melawan undang undang yang berlaku seperti UU KPK.
Bagi PDIP, mendukung upaya ini akan menjadi taruhan parpol ini masih menjadi partainya "wong cilik" atau parpol yang tidak layak dipercaya lagi. Mendukung proses pembongkaran korupsi yang dilakukan KPK juga akan berkolerasi positif dengan outcome yang akan diperoleh PDIP dalam Pilkada 2020.
Sementara bagi KPK harus all out membongkar kasus rasuah ini, agar KPK yang dilahirkan dengan undang undangnya yang baru tersebut terus mendapat dukungan rakyat karena koruptor adalah sejatinya musuh bersama rakyat yang tidak perlu dikasih ampun.(**)
Oleh : Deora Jigibalom. Penulis adalah pemerhati politik nasional.
Editor: Harian Momentum