Peluang dan Kendala Realisasi Target Investasi Indonesia

img
ilustrasi.

MOMENTUM, Bandarlampung--Berdasarkan penjelasan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi sepanjang 2019 yang masuk ke Indonesia mencapai Rp809,6 triliun, dibandingkan tahun lalu sebesar Rp721,3 triliun. Artinya, mengalami kenaikan dari target yang ditetapkan oleh BKPM sebesar Rp792 triliun. Realisasi investasi tersebut terdiri dari kontribusi investasi asing (PMA) sebesar Rp423,1 triliun dan investasi dalam negeri (PMDN) sebesar Rp386,5 triliun.

Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa peningkatan realisasi investasi tahun ini dikarenakan langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah. Investasi difokuskan pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Peningkatan investasi mencapai Rp809,6 triliun juga menciptakan multiplier effect bagi masyarakat, yakni penyerepan tenaga kerja pada 2019 mencapai 1.033.835 orang namun penyerapan tenaga kerja ini bisa dibilang mengalami pertumbuhan yang lambat dikarenakan tenaga kerja banyak digantikan oleh teknologi. Selain itu, Neraca perdagangan Indonesia berpotensi tetap defisit karena sebagian besar ekspornya dalam bentuk bahan baku, serta jumlah impor minyak dan gas. Kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 16 persen dan pengeluaran pemerintah sekitar 20 persen, pemerintah harus mendorong investasi untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

BKPM terus berupaya meningkatkan realisasi investasi menjadi Rp886 triliun ditahun 2020 sekaligus memperbaiki seluruh regulasi, sentralisasi, dan beberapa kebijakan fiskal untuk mencapai target realisasi tersebut sehingga dapat mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Untuk mencapai realisasi investasi diperlukan enam indikator keberhasilan, yaitu dengan meningkatkan kemudahan berbisnis (EODB), melaksanakan realisasi investasi besar, meningkatkan kemitraan investasi dengan UMKM, memastikan penyebaran investasi berkualitas di seluruh Indonesia, promosi investasi difokuskan pada menyasar sektor dan negara, dan meningkatkan investasi langsung domestik (DDI), khususnya UMKM.

Untuk mendorong investasi masuk ke Indonesia sekaligus bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah. Bahkan pada Agustus 2019 jumlah angka pengangguran diangka 7,05 juta orang cenderung meningkat sebanyak 50 ribu orang dibandingkan pada Agustus 2018 lalu penggangguran diangka 7 juta orang. Selain itu, sulitnya rekomendasi atau perizinan dinilai menjadi salah satu kendala investasi sehingga dapat mengakibatkan sejumlah proyek mangkrak.

Namun, BKPM mengklaim mampu mengeksekusi sebagian investasi proyek yang mangkrak. Setidaknya BKPM mengidentifikasi proyek mangkrak dengan nilai investasi sekitar Rp708 triliun terdiri dari 24 perusahaan. Total rencana investasi yang terhambat tersebut, sekitar Rp188 triliun sudah berhasil dieksekusi. Sehingga proyek yang tadinya terbengkalai karena persoalan teknis dan perizinan, saat ini sudah mulai mendapatkan titik cerah.

Resesi ekonomi global dinilai sudah makin nyata juga akan menjadi kendala serius penyerapan investasi. Indikasi itu terlihat dari perlambatan ekonomi Singapura yang menjadi barometer perdagangan dunia. Bahkan, Singapura diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019 akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang terus mengguncang ekonomi negara tersebut. Terkait dengan dampak perang dagang, konsultan keuangan global Mc Kinsey & Company mengingatkan agar negara Asia mewaspadai risiko terulangnya krisis keuangan 1997 menyusul tingginya tingkat utang luar negeri (ULN). Mengenai kinerja ekonomi Singapura, South China Morning Post (13-8-2019) mewartakan, setelah pertumbuhan kuartal 11-2019 dipastikan turun 3,3 persen, ekonomi Singapura diperkirakan memasuki resesi pada kuartal 1-2019. 

Laporan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis 12/8/2019 menunjukkan penurunan besar yakni 3,8 persen dalam tiga bulan pertama 2019, dan pertumbuhan kuartalan terburuk yang pemah dialami negara itu selama tujuh tahun. Secara tahunan, ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,1 persen atau turun dari 1,1 persen pada kuartal pertama. Ini menandai tingkat pertumbuhan paling lambat sejak krisis keuangan global 2008. Sektor yang mencatatkan kinerja terburuk antara lain manufaktur merosot 3,1 persen, serta perdagangan grosir dan eceran yang turun 3,2 persen. Jika pertumbuhan triwulanan Singapura tetap negatif pada kuartal ketiga tahun ini, berarti negara seluas kota itu telah memasuki resesi teknis, sebuah skenario yang menurut data lain semakin mungkin terjadi. Singapura secara drastis menurunkan prakiraan pertumbuhan tahun ini. Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) memperkirakan per-tumbuhan antara 0,0 hingga 1,0 persen, atau merosot tajam dibandingkan prediksi tahunan sebelumnya antara 1,5 sampai 2,5 persen. Pada Juli 2019, Dana Moneter Intemasional (IMF) telah memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 Singapura menjadi 2 persen dari 2,3 persen. MTI mengatakan sebagian penurunan itu disebabkan meningkatnya konflik perdagangan AS-Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir. Ekonomi Tiongkok dilaporkan mencetak rekor pertumbuhan terendah pada kuartal kedua, sebesar 6,2 persen, sejalan dengan kemerosotan Singapura. 

Sementara itu, McKinsey & Co dalam laporan "Signs of Stress in The Asian Financial System" mengungkapkan 25 persen utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio CR) kurang dari 1,5 kali. Posisi itu terhitung rawan karena itu berarti perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Indonesia bersama Australia, Tiongkok, Hong Kong, dan India masuk dalam kategori itu. Utang tersebut kebanyakan berasal dari sektor utilitas seperti pembangkit listrik dan jalan tol, dengan porsi 62 persen. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi masing-masing 11 persen dan 10 persen. Dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, Tiongkok, India, dan Thailand. 

Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dollar AS mencapai 50 persen dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25 persen. Sebelumnya, gejala krisis akibat ekonomi yang dipompa oleh utang juga dialami Indonesia. Bahkan ekonom senior, Rizal Ramli, menyebutkan hampir seperempat perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi salah satu faktor yang dapat memicu krisis tahun depan. Sebab, sebanyak 24 persen emiten tersebut merupakan perusahaan 'zombie' karena hanya mengandalkan sistem pembiayaan kembali (refinancing). 

Permalahan lain yang timbul adalah tidak meratanya penyebaran investasi, karena hanya lebih berfokus ke pulau Jawa dari 10 Provinsi tertinggi PMA dan PMDN kelimanya masih berada di Pulau Jawa. Dampak dari tidak meratanya penyebaran investasi membuat wilayah lainnya semakin tertinggal baik dari segi infrastruktur maupun teknologi.

Penyebaran investasi periode Oktober – Desember (TW IV) 2019 tertinggi masih ada di Jawa Barat dengan 3.081 proyek (Penanaman Modal Asing/PMA) dengan nilai investasi 1.452 (US$ juta) dan 1.716 proyek (Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN) diurutan kedua dengan nilai 13.636 (Rp miliar). Kemudian Maluku menjadi provinsi dengan penyebaran investasi PMA diurutan ke 33 hanya 12 proyek nilai investasi 0,5 (US$ juta) dan terendah investasi PMDA 13 proyek 0,0 (Rp miliar).

Pemerintah juga perlu memperhatikan masalah investasi asing di sektor usaha digital yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri nasional dipastikan akan mendapat prioritas. Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjuklcan, investasi pada sektor ekonomi digital di Indonesia baru menyentuh sektor-sektor besar. Sektor-sektor itu antara lain transportasi, logistik. dan telekomunilcasi. Di bidang itu, realisasi penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 2022 triliun. Adapun penanaman modal asing sebesar 949,8 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,55 triliun berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia. 

Ketua Bidang Pendidikan Lembaga Strategi Ketahanan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bayu Prawira mengatakan, investasi asing di bidang ekonomi digital didominasi Go-Jek, To-kopedia, Traveloka, dan Buka-lapak. Misalnya, suntikan modal asing kepada Go-Jek mencapai Rp 13 triliun, sedangkan dari investor dalam negeri sekitar Rp 2 triliun. 

Menurut Ketua Lembaga Strategi Ketahanan Ekonomi Kadin Indonesia Benny Ranti, Indonesia tengah berada dalam arus perdagangan bebas. Untuk itu, Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar apalagi di tengah perkembangan dan investasi teknologi digital. Indonesia mesti memperkuat infrastruktur teknologi digital serta sumber daya manusia (SDM), tenitama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).(**)

Oleh: Erza Ramsey. Penulis adalah pemerhati bidang ekenomi

Editor: Agus Setyawan






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos