MOMENTUM, Tanjungsari--Suasana Hari Raya Kurban 2018 sudah terasa ketika di pinggir-pinggir jalan mulai terlihat pedagang kambing dan sapi.
Gairah itu juga terlihat di salah satu rumah di lipatan desa Kertosari, Kecamatan Tanjungsari, Lampung Selatan.
Rumah yang di sampingnya terdapat kandang kambing itu milik Pianto, salah satu blantik (pedagang) kambing cukup tersohor di seputaran Tanjungsari.
Matahari menjelang tenggelam ketika dua orang berbusana muslim, lengkap dengan sorban datang bertamu. Mengaku dari salah satu pondok pesantren di wilayah Tegineneng, dua orang yang belum pernah dikenal itu mengaku akan membeli kambing. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 70 ekor. Gunanya, kata Piyanto menceritakan, untuk kurban di beberapa cabang pondok.
Girang hati Pianto menggelegak ketika dua tamunya itu mulai memilih-milih kambing yang terpajang di kandang. Dengan nada dan gaya yang renyah, sang tamu mulai menunjuk-nunjuk kambing-kambing pilihan. Hampir tidak ada tawar-tawaran kecuali hanya sedikit sebagai bunga transaksi. Hari mulai petang dan sang calon pembeli berjanji besok pagi datang untuk menjemput hewan kurban.
“Besoknya datang. Karena kambing saya nggak cukup, saya minta sesama pedagang untuk mencukupi. Pendek cerita, kambing 70 itu kami antar dengan dua mobil pikup. Satu mobil saya, satu lagi mobil orang itu. Dia menjanjikan akan dibayar di sana. Saya percaya saja karena kan saya ikut nganter. Eh, dalam perjalanan, mobil dia ngebut dan saya kehilangan jejak. Amblas...,” kata pria 49 tahun yang sudah 26 tahun jadi blantik wedus ini.
Episode kehilangan kambing 35 ekor seharga hampir Rp100 juta itu adalah fase paling apes dalam perjalanan bisnis Pianto. Pria Jawa kelahiran Kisaran, Sumut itu tak habis pikir bisa ditipu dengan cara yang amat terbuka. Padahal, kata dia, dia memulai berdagang kambing, bahkan memulai kehidupannya dengan amat tertatih-tatih dari nol.
“Saya ini dari nol, lo Mas. Punya anak satu, saya nebang pohon mindi milik orang tua, saya bikin gubuk untuk tinggal bersama isteri dan anak. Atapnya welit (ilalang), dindingnya geribik, lantainya tanah. Anak isteri saya tinggal di kampung sini, saya tinggali kambing dan ayam. Saya merantau jadi sopir pribadi dokter di Tanjungkarang,” kisah pria asal Temanggung, Jawa Tengah ini.
Awal mula tertarik berdagang kambing, Pianto mengaku diminta tolong oleh dr. Yuzar Harun, majikan yang dia sopiri setiap hari untuk membelikan kambing kurban di kampung. Pertimbangannya, kambing langsung dari petani lebih sehat, lebih segar, dan harganya juga lebih murah sehingga Pianto bisa mendapat sedikit untung.
“Saya diminta beli empat ekor, dia puas. Terus, dokter Yuzar bilang sama dokter lain dan para perawat. Nah, di situlah saya mulai tertarik jadi blantik,” kata dia.
Bermodal nekat, pria yang sudah belasan tahun pindah-pindah kerja sebagai buruh memutuskan pulang kampung menekuni dagang kambing. Selama bertahun-tahun, usahanya cukup lancar karena cara komunikasi dan menjaga kepercayaan sangat ketat. Walhasil, dia bisa membangun rumah cukup megah, membeli kebun karet, dan menanam jeruk cokun di kebun yang juga dia beli.
Tiga anaknya juga tak kesulitan biaya sekolah, bahkan anak nomor duanya sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Sedangkan anak pertama, sarjana ekonomi, sudah bekerja di salah satu hotel berbintang di Bandarlampung. Sedangkan si ragil masih SMA.
Dalam perjalanan bisnis jual beli kambing, ada nama PTPN VII sebagai bagian dari perkembangan usaha. Untuk membangun kembali usaha yang sempat runtuh karena tragedi kambing satu pikup dibawa lari, Pianto pernah mendapat pinjaman dana Rp6 juta dari PTPN VII.
“Waktu itu, saya pakai uang pinjaman dari PTPN VII itu untuk membeli empat ekor kambing. Ada tiga yang besar bisa saya putar atau dijual untuk beli lagi, yang satunya kecil saya pelihara,” kata dia.
Pada masa keemasannya, Pianto mengaku pernah kandangnya yang panjang di samping rumah penuh dengan kambing. Kapasaitas kandang yang 60 ekor terlampaui. Relasi bisnisnya juga sudah sangat luas di seantero Kecamatan Tanjungsari, Tanjungbintang, dan sekitarnya. Bahkan, dia juga pernah mengirim puluhan ekor kambing ke Padang (Sumsel) dan Bengkulu.
Namun kini, suasana dunia yang sedang dilanda wabah virus korona mengharuskan semua orang menahan diri. Dalam masa-masa pemulihan dari duka drama hilangnya 35 ekor kambing, Covid-19 datang membuyarkan konsentrasi bisnis.
“Saya minta maaf amat sangat belum bisa mengangsur lagi pinjaman dari PTPN VII. Saya berterima kasih PTPN VII mau memberi pinjaman, terlebih bisa memberi kelonggaran waktu membayar pinjaman saya. Tak ada niat saya untuk mengelak, tetapi kondisi usaha sedang seperti ini,” kata dia sambing berkaca-kaca.
Pianto berdoa, kiranya pandemi ini segera berakhir. Ia mengatakan, dagangan yang ada tidak ada yang membeli karena belum ada yang membutuhkan. Tidak seminggu sekali dagangannya laku satu.
“Tetapi saya masih bersyukur, ada kebun karet sedikit yang bisa saya ambil getahnya setiap pagi,” kata dia.
Mengomentari kondisi UKM mitra PTPN VII yang mengalami perlambatan usaha akibat pandemi, Sekertaris Perusahaan PTPN VII Bambang Hermawan menyatakan ikut prihatin. Terlepas kondisi perusahaan yang juga sedang dalam kesulitan cash flow, pihaknya tetap memberi perhatian dan alokasi dana untuk CSR.
"CSR atau kepedulian PTPN VII untuk masyarakat sekitar tidak akan hilang dari RKAP. Sebab, bagi perusahaan seperti PTPN VII yang asetnya berada di tengah masyarakat, CSR pasti masuk dalam komponen biaya. Kita akan dan terus beri perhatian," kata dia.
Soal angsuran pinjaman dari UMKM, Bambang mengatakan memaklumi. Namun, ia meminta para kreditur untuk terus berkoordinasi dengan pihak PTPN VII. (*).
Editor: Nurjanah/Rls.
Editor: Harian Momentum