MOMENTUM,
Bandarlampung--Budayawan
Lampung Iwan Nurdaya-Djafar akan menyampaikan pidato kebudayaan yang dihelat
Akademi Lampung di Gedung Dewan Kesenian Lampung, di Kompleks Gelanggang Sumpah
Pemuda, PKOR Wayhalim, Bandarlampung, Sabtu (18-9-2021).
Pidato kebudayaan yang
disampaikan pada pukul 16.00 WIB, itu dapat juga disaksikan di kanal YouTube
Dewan Kesenian Lampung dan kanal YouTube TVRI Lampung.
Ketua Akademi Lampung
Anshori Djausal, Kamis (16-9-2021), mengatakan, salah satu program Akademi Lampung
adalah menyelenggarakan pidato kebudayaan secara berkala. Pada kesempatan ini,
merupakan pidato kebudayaan perdana yang akan disampaikan budayawan Iwan
Nurdaya-Djafar.
Dihubungi terpisah,
penyair Lampung Ahmad Yulden Erwin yang sudah membaca teks pidato Iwan
menyebutkan, Pidato kebudayaan Bang Iwan bukan hanya melaporkan kegiatan
kesenian seniman dan lembaga kesenian Lampung pada masa pandemi covid 19.
“Tetapi pidato kebudayaan itu juga mengkaji fenomena yang terjadi secara
mendalam. Saya sudah membaca, menurut saya itu pidato kebudayaan yang bagus,”
ujar Erwin.
Sementara itu, Iwan
menuturkan, pidatonya mengusung tajuk “Berkesenian di Musim Pagebluk”. Lebih
lanjut, Iwan yang dikenal produktif menulis buku ini, mengatakan, pagebluk
adalah padanan untuk kata pandemi. Di musim pagebluk yang sudah dua tahun lebih
melanda bumi yang kita huni ini, imbuh Iwan, cukup banyak korban yang
meninggal, diantaranya para seniman. Selalu ada rasa kehilangan yang
lebih, manakala kita mendengar seorang seniman wafat. Seniman adalah sosok yang
tak tergantikan.
“Kata orang, tidak
akan pernah ada drama Romeo and Juliet seperti yang dihasilkan oleh William
Shakespeare. Hal ini, justru karena sifat subyektif seniman yang melekat pada
karya tersebut. Kepada para seniman yang telah mendahului kita, kita doakan
agar berakhir baik dan beroleh tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha
Esa, ” ujar penerjemah karya-karya sastra dunia ini berharap.
Lebih jauh iwan yang
juga Sekretaris Akademi Lampung, mengutip sebuah pepatah latin yang menyebutkan,
ars longa vita brevis; seni itu abadi, hidup itu singkat. “Seorang seniman
kreatif yang wafat memang membawa mati kepiawaian seninya, tetapi mestilah
meninggalkan warisan berupa karya ciptanya. Maka, meskipun sang seniman sudah
berpulang, kita dapat terus mengapresiasi karya-karya yang diwariskannya, ”
tandas
Iwan yang juga dikenal
banyak menerjemahkan buku-buku sastra karya sastrawan dunia ini
menambahkan, jika diperhatikan, kegiatan berkesenian di musim pagebluk ini,
banyak memanfaatkan media virtual. Hal ini menandai terjadinya pergeseran
fenomena dari aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia
maya.
Fenomena ini disebut
disrupsi atau perubahan besar yang mengubah tatanan, seperti ditandaskan
Clayton M. Chisthensen dalam bukunya The Inovator Dilemma yang terbit pada
1997. Disrupsi membawa konsekuensi pada cara dan pendekatan baru, karena
khalayak dan lanskap yang berubah baik di bidang komunikasi, bisnis, dan
lainnya.
Iwan juga menegaskan,
seniman adalah salah satu yang paling terdampak oleh gempuran pagebluk covid
19. Dan oleh karena itu, seniman ditantang untuk menciptakan karya seni dalam
konteks kreasi baru. Seniman yang kehilangan panggung atau wadah kegiatan
karena pagebluk, dengan dukungan tekonologi digital memindahkan tempat
pentasnya ke panggung digital, melalui fitur live streaming dengan aplikasi
Zoom, Instagram, Facebook, Youtube dan lainnya.
“Di era disrupsi ini
justru para seniman mempunyai panggung virtual yang bisa dinikmati oleh
khalayak di seluruh pelosok dunia. Di era disrupsi, dengan panggung digital
seniman yang kreatif akan makin mendunia, ” terang
Iwan menandaskan,
terbukti bahwa para seniman dan lembaga-lembaga kesenian di Lampung tetap
berkiprah pada musim pagebluk Covid 19. Dengan sikap kreatif mereka, para
seniman menolak untuk berdiam diri terus berkreativitas dan berkarya. “Mereka
terus mencipta dan berkesenian di musim pagebluk ini. Maka, musim pagebluk
menjelma semacam musim panen kesenian di tangan para seniman Lampung,” ujar
Iwan. (*)
Editor: Nurjanah/Rls.
Editor: Harian Momentum