MOMENTUM, Kotaagung--Bencana alam yang terjadi di wilayah Kabupaten Tanggamus sejak 2002 hingga 2020 terus meningkat. Sebagian besar berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gelombang pasang dan banjir rob.
Menurut Bupati Tanggamus Dewi Handajani, bencana yang disebut dengan hidro-meteorologis itu disebabkan curah hujan yang tinggi.
"Puncak musim hujan menurut prakiraan BMKG, akan terjadi pada bulan Januari 2022. Pada bulan November dan Desember ini, curah hujan di wilayah Tanggamus sudah mulai meningkat hingga di atas normal," katanya.
Ditambah lagi dengan adanya fenomena La Nina yang merupakan fenomena suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah, mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya. Dampaknya, peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk di wilayah Kabupaten Tanggamus.
Kondisi ekstrim sebagai dampak La Nina di pesisir Kabupaten Tanggamus diantaranya hujan lebat dan pasang air laut yang dapat mengakibatkan banjir pasang (rob), memicu pasang air laut lebih ekstrim, sungai meluap, banjir melebihi batas pantai dan tanggul jebol.
"Sebagai contoh, banjir rob yang terjadi di Kelurahan Pasar Madang pada 7 November 2021, merupakan salah satu dampak cuaca ekstrim," katanya saat memimpin apel kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Lapangan Pemkab Tanggamus, Selasa (30-11-21).
Pada akhir tahun 2020 sampai dengan awal tahun 2021 lalu, curah hujan yang tinggi menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di berbagai daerah. Seperti di Kecamatan Semaka, Wonosobo, Bandarnegeri Semuong, Kelumbayan dan lain-lain.
Banjir dan tanah longsor mengakibatkan rusak dan terendamnya rumah warga, gedung sekolah, jembatan, lahan pertanian, tambak, kolam, termasuk ruas Jalan Lintas Barat.
Dengan banyaknya kejadian bencana hidro-meteorologis tersebut, menjadi tantangan bersama untuk dapat dikelola dan dikurangi risikonya.
"Saya menyambut baik apel kesiapsiagaan bencana ini yang merupakan upaya mewujudkan sinergitas semua stakeholder kebencanaan yang terdiri dari unsur pemerintah bersama para pemangku kepentingan hingga masyarakat," katanya.
Sinergitas dalam penanggulangan bencana dikembangkan dengan model “pentahelix" yang melibatkan berbagai pihak.
Pihak pertama adalah badan publik atau pemerintah. Kelompok ini berisi para pengambil keputusan dan fasilitas negara yang dimiliki seperti kepolisian, rumah sakit, serta pemerintah daerah hingga pusat. Pihak ini bertugas untuk membuat kebijakan atau aturan dalam mengatasi masalah. Caranya adalah dengan mengatur strategi bersama berbagai pihak lain yang terkait dan berkompeten.
Pihak yang kedua adalah komunitas praktisi atau akademisi, dianggap sebagai ahli serta menguasai masalah yang sedang terjadi. Pihak ini terdiri dari akademisi atau ilmuan, aktivis lingkungan, dan lain sebagainya. Fungsi dari kelompok ini adalah menyumbangkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk mengatasi masalah.
Pihak yang ketiga adalah komunitas bisnis. Kelompok ini terdiri dari para pengusaha lokal dan nasional seperti pemiliki toko, kios, koperasi, perusahaan, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan ekonomi di masyarakat tetapi dapat dilakukan dalam masa kesulitan.
Pihak yang keempat adalah media. Kelompok ini terdiri dari seluruh media baik cetak, online, televisi, hingga radio. Di tengah berlangsungnya tanggap darurat bencana, penyebaran informasi adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Beredarnya kabar hoax dapat membuat masyarakat makin panik dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, pihak ini perlu menjadi mata, telinga, dan mulut yang menyajikan informasi yang terpercaya dan berimbang. Pihak yang kelima adalah masyarakat.
Pada dasarnya, penyebab timbulnya bencana ada dua hal, pertama karena kondisi alam dan kedua karena perilaku manusia dan dampak pembangunan yang belum mempertimbangkan risiko bencana.
Bencana hidro-metrologi terus meningkat seiring perubahan iklim global. Peningkatan terjadi akibat besarnya pengaruh aktivitas manusia (anthropogenic) dalam bencana-bencana itu. Aktivitas yang tidak ramah lingkungan, pasti menciptakan bencana, hingga, pengurangan risiko perlu dengan mengubah paradigma masyarakat.
Selama ini, masyarakat menjadi “manja” dengan mengatakan bahwa “Bencana adalah tanggung jawab pemerintah”. Sehingga, setiap kejadian atau fenomena alam dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sebagai contoh, terjadi banjir akibat gorong-gorong yang tersumbat oleh sampah selalu dianggap bencana dan merupakan tanggungjawab pemerintah. Padahal, salah satu kriteria suatu peristiwa disebut bencana adalah apabila di luar kemampuan masyarakat.
Terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana akibat cuaca ekstrim, Dewi meminta semua pihak untuk memetakan lokasi rawan bencana, sehingga memudahkan kita dalam penempatan personil dan penentuan cara bertindak.
Kedua, melatih kemampuan pribadi petugas, yang bermanfaat untuk pertolongan terhadap korban bencana, serta melatih kemampuan dalam penggunaan peralatan.
Kemudian, mempersiapkan peralatan semaksimal mungkin, bila ada kejadian bencana dan tanggap darurat, maka siap untuk di operasionalkan.
Mempersiapkan aktifitas posko siaga bencana di daerah yang menjadi langganan bencana, sehingga memudahkan untuk pergerakan.
Mengadakan patroli gabungan di wilayah rawan bencana, secara sinergis dan saling mengisi untuk memantau situasi.
Menjalin sinergitas dan kebersamaan, dan melaksanakan tugas ini dengan penuh ikhlas. Terakhir, menjaga kesehatan, selalu berdoa semoga Allah SWT, meminta perlindungan dan keselamatan.
Bupati meminta dukungan dari seluruh pihak, baik dari rekan-rekan forkopimda, TNI, Polri, Basarnas, institusi Pemerintah dan swasta, untuk merapatkan barisan, meningkatkan koordinasi secara terpadu dan berperan secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Turut hadir, Wakil Bupati Tanggamus AM. Syafei'i, forkopimda, staf ahli bupati, para asisten, serta pejabat setempat lainnya. (*)
Laporan: Galih/Ijal
Editor: M Furqon.
Editor: Harian Momentum