MOMENTUN, Bandarlampung--Ahli hukum tata negara dari Universitas Lampung (Unila) Budiyono merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Yaitu, soal MK mengabulkan syarat capres-cawapres berusia di bawah 40 tahun dengan catatan pernah atau sedang menduduki posisi kepala daerah (penyelenggara negara).
"Saya rasa putusan MK ini putusan yang aneh," ujar Budiyono, Selasa (17-10-2023).
Dia menilai putusan MK itu tidak konsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya. Terutama tentang open legal policy (kebijakan hukum terbuka).
Hal itu juga diungkapkan salah satu hakim MK, Profesor Saldi Isra yang menyebut terdapat keanehan dan keganjilan pada proses terjadinya putusan MK, terangnya.
Dia menyebutkan, hakim MK ini memberikan sinyal kepada masyarakat bahwasanya putusan MK syarat dengan intervensi politik.
"Karena ada konflik of interest dalam putusan ini. Dan itu dikemukakan oleh pendapat Prof Saldi Isra dan Arief Hidayat," jelas dia.
"Ini baru terjadi dalam sejarah hakim konstitusi mengkritik prilaku kolega hakim konstitusi lainnya," imbuhnya.
Budiyono menyampaikan, putusan MK ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK.
"Saat ini MK akan melakukan sidang-sidang sengketa pemilu. Dan ini merupakan titik rawan MK, terutama dalam menyelesaikan apabila ada sengketa pada pemilihan presiden," bebernya.
"Seperti yang diungkapkan Prof Saldi Isra, ada kemungkinan MK sudah masuk dalam pusaran politik," tutupnya.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ketika menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, Saldi mengakui aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar, karena dia mengeklaim mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.
“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (16-10).
MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perseorangan bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.
Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.
Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. (*)
Editor: Muhammad Furqon