Soal Putusan Majelis Kehormatan MK, Pengamat Sebut Tak Pengaruhi Elektabilitas Capres-cawapres

img
Ilustrasi-Seorang warga melintas di gedung Mahkamah Konstitusi.

MOMENTUM, Bandarlampung--Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menyatakan Ketua MK Anwar Usman melanggar Sapta Karsa Hutama tentang prinsip ketidakberpikahan, prinsip integritas, kecakapan, independensi, dan kepantasan serta kesopanan. Bahkan dianggap melakukan pelanggaran kode etik berat.

Sehingga Anwar Usman dijatuhi sanksi berupa pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK. Namun, tetap dalam posisi Hakim MK. 

Kemudian Anwar Usman tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai Ketua MK sampai dengan akhir masa jabatan, serta tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri pada sidang perkara pemilu 2024.

Hal itu, diputuskan imbas dari sidang gugatan batas usia calon wakil presiden (Cawapres).

Siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan atas putusan MKMK itu? apakah menguntukan salah satu pasangan Capres-cawapres?

Pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung (Unila) Robi Cahyadi Kurniawan mengatakan, secara tidak langsung putusan MKMK ini tidak akan semerta-merta mempengaruhi elektabilitas dari ketiga capres baik Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran, Anies-Muhaimin.

"Untuk elektabilitas (keterpilihan) belum berpengaruh karena masa kampanye belum dimulai dan pasangan belum menawarkan visi-misi program," ujarnya saat dimintai pendapat, Rabu (8-11-2023).

Namun menurutnya, putusan MKMK yang memberhentikan Ketua MK Anwar Usman dari jabatanya sebagai Ketua MK, akan dapat menjadi 'senjata politik' kepentingan pemilu 2024. Mengambil keuntungan dari situasi itu.

Doktor bidang Ilmu Politik itu menilai, justru dengan adanya putusan MKMK yang akan berpengaruh adalah popularitas dari dinasti politik Joko Widodo.

"Namun berpengaruh pada tingkat popularitas, efek dinasti keluarga (Jokowi, Anwar Usman, Gibran) bisa dipakai paslon lain untuk menyerang Prabowo-Gibran dan meningkatkan popularitas mereka," bebernya.

Terpisah, Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Kepemiluan IAIN Metro Ahmad Syarifudin mengatakan, atas putusan MKMK ini pasangan Prabowo-Gibran akan diprediksi merasakan penurunan elektabilitasnya, meskipun saat ini fakta elektabilitas Prabowo masih unggul dibandingkan dengan calon-calon lain.

"Harusnya yang paling tergerus adalah Bacapres Prabowo karena mengangkat Gibran menjadi Bacawapres yang menjadi titik awal sampai Anwar Usman diberhentikan dari Ketua MK. Tetapi pada kenyataan sebaliknya, Bacawapres Prabowo masih unggul dibanding calon lain," kata dia.

Menurutnya, terjadi perbedaan respon di tengah masyarakat. Baik ada yang merespon positif, tetapi juga ada yang merespon secara negatif. Sehingga elektabilitas dari masing-masing capres tidak akan terlalu berpengaruh atas putusan MKMK itu.

"Putusan MKMK yang direspon negatif oleh sebagian masyarakat, tapi tidak bagi masyarakat yg lain," ujarnya.

Ia menjelaskan, putusan MKMK yang pasti secara hukum tidak akan mengoreksi putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, karena memang konstitusi telah menyatakan putusan MK final dan mengikat. 

"Final tidak ada upaya hukum lain, dan langsung berlaku sejak di bacakan. Persyaratan usia cawapres mengikuti putusan MK 90/2023," jelasnya.

Kemudian, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Rifandi Ritonga mengatakan, secara konsep peradilan memang posisi Anwar Usman sebagai paman Gibran mengadili perkara yang menguntungkan bagi keponakanya.

"Yang membuat menjadi sorotan adalah posisi Ketua MK Anwar Usman yang adalah paman salah satu calon wapres. Jelas hal itu, konsep peradilan," tegasnya.

Siapa yang untung dan siapa yang rugi atas putusan MKMK itu, kata Rifandi, tergantung dari strategi dan kemampuan partai pengusung memanfaatkan situasi.

"Kalau secara politik bisa iya bisa juga tidak, tergantung dari bagaimana mesin partai pengusung masing-masing," tutupnya.

Kemudian pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Lampung M Iwan Satriawan mengatakan, bahwa 56 persen pemilih di Indonesia adalah kaum pemuda terdiri dari gen-z serta milenial. Atas putusan MKMK yang memberhentikan jabatan Ketua MK Anwar Usman tidak semerta merta menguntungkan para capres mengenai elektabilitasnya.

"Belum tentu, kita juga belum lihat kampanye dan diskusi debatnya. Ketika ada debat akan berpengaruh, karena itu akan dilihat oleh seluruh Indonesia," terangnya.

Menurutnya, keputusan adil karena dalam sidang perkara usia cawapres, komposisi antara hakim pendukung dan penolak sama, sehingga mau tidak mau ketua MK Anwar Usman harus mengambil bagian untuk memutuskan. Meskipun sejatinya beliau tetap dapat tidak mengambil bagian dalam memutus karena dikhawatrikan ada konflik kepentingan, maka solusinya harusnya diulang kembali sidangnya.

"Berdasarkan hal tersebut, ini adalah konsekuansi yang harus diterima oleh Anwar Usman akibat dia memaksakan diri masuk dalam perkara tersebut, meskipun sejatinya perkara ini ga akan seramai ini jika Gibran ga masuk dalam bursa cawapres," tutupnya.

Kemudian, Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung Budiyono mengatakan, putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan sebagai Ketua MK masih cenderung politis, dikarenakam tidak memberhentikan Anwar sebagai Hakim Konstitusi.

"Keputusan MKMK itu terlalu politis diselesaikan secara kompromi. Padahal sudah dijelaskan bahwa Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, pelanggaran integritas namun hanya diberhentikan sebagai Ketua MK bukan diberhentikan sebagai Hakim MK," tegasnya.

Ia menjelaskan, putusan MKMK terhadap Anwar Usman yang dinilai melakukan pelanggaran berat tetapi tidak diberhentikan sebagai Hakim MK belum pernah terjadi sepanjang sejarah hukum di Indonesia. 

Menurutnya, setiap pelanggaran berat Hakim MK itu harus diberhentikan sebagai Hakim MK, bukan hanya sekedar diberhentikan sebagai Ketua MK namun masih menyandang jabatan Hakim MK.

"Ini belum pernah terjadi juga didalam sejarah, bahwa Hakim MK yang dinilai melakukan pelanggaran berat hanya diberhentikan jabatanya sebagai Ketua MK namun tidak diberhentikan sebagai Hakim MK," bebernya.

Putusan MK menurut Budiyono, dinilai belum dapat memuaskan hasrat publik. Putusan cenderung politis komporomi jalan tengah. Ia menyarankan, sebagai tanggung jawab moral kepada publik, Anwar harus mengundurkan diri dari jabatan Hakim MK.

"Seharusnya Anwar Usman mundur dari jabatan sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi," tutupnya. (**)






Editor: Agus Setyawan





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos