MOMENTUM, Bengkunat--Lanjut lagi, cerita soal awal mula kawasan Wayharu dihuni. Di bagian keempat kemarin, saya menceritakan penuturan tokoh ada warga Wayharu tentang awal mula kawasan tersebut dihuni.
Menurut sang tokoh, nenek moyang warga Wayharu sudah menghuni kawasan tersebut sebelum Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.
"TNBBS itu belum ada, moyang kami sudah di sana (Wayharu). Tidak ada batas (dengan kawasan hutan), hanya batas (tanah) marga," terangnya.
Mendengar penuturan tersebut, saya semakin penasaran. Spontan saya tanya. Sekarang batas marga itu, masih ada atau tidak.?
Tokoh adat itu pun langsung menjawab dengan nada semangat. "Ada batasnya, sampai saat ini masih ada," ujarnya.
Baca juga: Wayharu, Kapan Merdeka (Bagian IV)
"Dari zaman Belanda tanah hutan itu diinclove untuk pemukiman keluarga Sai Batin dan pengikutnya. Masih ada suratnya yang ditandatangani sai batin dan beberapa tokoh dari perwakilan pengikut," jelasnya.
Sedikit saya terangakan, apa yang dimaksud Sai Batin. Suku Lampung itu punya dua adat: Sai Batin dan Pepadun. Sai Batin adalah pemimpinan atau bangsawan dalam kelompok masyarakat Lampung beradat Sai Baitin. Sedangkan pemimpin adat dalam kelompok masyarakat Lampung beradat Pepadun disebut Penyimbang.
Dari cerita itu, secara pribadi saya bisa menyimpulkan, bahwa keberadaan pemukiman warga Wayharu di kawasan tersebut, bukan liar.
Banyangkan, pemerintah kolonial Belanda saja bisa memberikan, dalam tanda kutip kemerdekaan, berupa izin mendirikan pemukiman kepada warga Wayharu.
Ironisnya, justru setelah kita merdeka dan negara ini terbentuk, warga Wayharu sulit sekali mendapatkan kemudahan sebagai buah kemerdakaan tersebut.
Aturan perizinan demi menjaga kelestarian dan fungsi TNBBS, justru terus menjajah warga Wayharu.
Padahal, kalau alasanya hanya untuk menjaga kelestarian dan fungsi TNBBS, saya yakin warga Wayharu punya kearifan lokal yang terkait hal tersebut. Selama ini mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Dengan kata lain, alam yang selama ini menghidupi mereka. Otomatis mereka akan terus menjaga sumber kehidupan itu dengan kearifan lokalnya.
Kalau mau lebih bijak, pemerintah bisa saja merumuskan aturan baru untuk memberikan kelonggaran berupa izin pembangunan jalan menuju kawasan Wayharu. Tentunya disertai, regulasi terkait tanggung jawab menjaga kelestarian dan fungsi TNBBS.
Jalan (nasional) Lintas Barat Sumatera yang panjangnya beratus-ratus kilometer dan membelah TNBBS saja bisa dibangun. Kok, ngasih izin pembukaan dan pembanguman jalan menuju Wayharu saja, sulit banget. Padahal, panjang jalan yang akan dibangun oleh Pemkab Pesisir Barat itu tidak sampai puluhan kilometer. Wayharu, oh Wayharu. Kapan Merdeka.? (**)
Editor: Munizar