MOMENTUM, Bandarlampung -- Sidang Praperadilan Gugatan Dirut PT LEB pada hari ini, 1 Desember 2025 memasuki hari kedua dari proses sidang dengan agenda penyampaian bukti-bukti baik dari Pemohon maupun Termohon.
Sebelumnya, Jumat 28 November 2025, Kejaksaan Tinggi Lampung mengakui dalam jawabannya pada sidang Pra-Peradilan Status Tersangka pada kasus PT LEB bahwa mereka tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap M. Hermawan Eriadi dalam kapasitas sebagai calon tersangka sebelum menetapkan status tersangka dalam perkara PI 10 persen PT LEB.
Alasan Kejaksaan cukup mengejutkan, pemeriksaan calon tersangka tidak dikenal dalam KUHAP dan hanya terdapat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga memerlukan aturan pelaksana sebelum dapat berlaku.
Pernyataan ini langsung dikritik keras oleh Tim Penasihat Hukum Dirut PT LEB, Riki Martim, yang menyatakan bahwa dalil Kejaksaan tersebut merupakan kekeliruan serius dalam memahami hukum acara pidana dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK Mengikat Secara Menyeluruh: Bukan Hanya Amar, tetapi Juga Ratio Decidendi. Menurut Riki Martim, dalil Kejaksaan bahwa pertimbangan putusan MK tidak mengikat adalah sesat pikir. Yang mengikat dari putusan MK bukan hanya amar, tetapi seluruh pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang menjadi dasar amar tersebut.
Dalam sistem peradilan tata negara Indonesia, Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) bagi seluruh lembaga negara, termasuk Kejaksaan. Putusan tersebut tidak menunggu aturan pelaksana baru—self executing.
Putusan MK 21/PUU-XII/2014 secara tegas menyatakan bahwa:
1. Penetapan tersangka wajib didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah, dan
2. Wajib didahului pemeriksaan calon tersangka, agar orang tersebut mengetahui secara jelas sangkaan terhadapnya dan memiliki kesempatan untuk memberikan klarifikasi.
Pemeriksaan calon tersangka disebut oleh MK sebagai sarana: melindungi hak konstitusional seseorang, mencegah tindakan sewenang-wenang, memenuhi prinsip due process of law, dan menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Dengan demikian, Kejaksaan tidak dapat berlindung di balik alasan ‘tidak dikenal dalam KUHAP’ karena norma baru hasil Putusan MK telah otomatis menjadi bagian dari KUHAP," kata Riki dalama rilisnya, Minggu 30 November 2025.
Kejaksaan Tidak Memberikan Pemberitahuan Sangkaan: Pelanggaran Pasal 51 KUHAP. Kejaksaan juga mengakui bahwa tidak pernah menjelaskan kepada Pemohon mengenai perbuatan apa yang disangkakan, apa unsur melawan hukumnya, apa alat buktinya, dan berapa kerugian negara.
Riki menegaskan: “Ketika kami tanyakan kepada Kepala Penyidikan Kejati Lampung pada malam penetapan tersangka, jawabannya adalah: ‘nanti akan disampaikan saat penuntutan di Pengadilan’. Ini sama saja membuat kejutan untuk tersangka. KUHAP bukan undian berhadiah.”
Menurut Pasal 51 KUHAP, tersangka berhak mengetahui secara jelas: apa perbuatan yang disangkakan, apa dasar hukumnya, apa bukti permulaannya. "Jika hal ini tidak dilakukan, maka penetapan tersangka menjadi cacat hukum secara fatal," lanjut Riki.
Mengabaikan Putusan MK Sama Artinya Melanggar UUD 1945
Riki kembali menegaskan bahwa Kejaksaan tidak hanya melanggar KUHAP, tetapi melanggar Putusan MK yang bersifat final-binding. Mengabaikan putusan MK berarti mengabaikan UUD 1945.
Karena itu, tidak dilakukan pemeriksaan calon tersangka bukan sekadar kekurangan administratif, melainkan pelanggaran prosedur fundamental yang membatalkan seluruh proses penyidikan berikut Surat Perintah Penyidikannya (Sprindik).
Keyakinan Penasihat Hukum terhadap Majelis Hakim
Akhirnya, Riki Martim berharap Hakim Pra-Peradilan melihat dengan jernih bahwa yang dilakukan Kejaksaan merupakan pelanggaran terhadap KUHAP, Putusan MK, dan pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon.
“Kami yakin Hakim akan memutus secara objektif dan adil. Pra-Peradilan ini bukan hanya mengenai status tersangka, tetapi mengenai kehormatan hukum acara pidana Indonesia,” kata Riki. (**)
Editor: Harian Momentum
