Harianmomentum-- Akhir – akhir ini semakin banyak bermunculan upaya-upaya
yang dilakukan oleh segelintir kelompok untuk menggantikan keberadaan Pancasila
sebagai dasar Negara dan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Pertanyaan yang muncul adalah
apakah ideologi Pancasila sudah tidak relevan di era globalisasi dan
demokratisasi yang nyaris tanpa batas atau memang Pancasila dianggap sebuah
sistem yang tidak mampu mengatur dan memecahkan seluruh permasalahan kehidupan
berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang lebih demokratis dan lebih bebas
dalam berbagai segi kehidupan.
Faktanya, Pancasila sebagai basis
ideologi dan identitas nasional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia yang diakui oleh seluruh dunia, seolah semakin kehilangan
relevansinya. Paradigma yang terlanjur tercemar bahwa Pancasila dijadikan
sebagai alat politik kebijakan rezim Presiden Soeharto.
Atas dasar paradigma tersebut,
keberadaan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia mulai digoyahkan melalui
liberalisasi politik dengan mencoba menghapuskan kedudukan, fungsi serta
implementasi Pancasila sebagai dasar Negara.
Situasi tersebut semakin membuka
peluang bagi adopsi azas-azas ideologi lainnya, tak terkecuali yang berbasiskan
fundamentalis agama (religious-based
ideology) untuk mempengaruhi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara
masyarakat Indonesia, yang tujuannya tidak lain untuk menjadikan Pancasila
tidak lagi menjadi common platform
dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia.
Indonesia saat ini terancam dua ideologi transnasional, yang
tengah beroperasi secara terstruktur, sistematis dan masif, yaitu ideologi
neoliberalisme dan fundamentalisme agama.Kecenderungan pemaksaan upaya perang doktrinasi ideologi transnasional untuk
merongrong posisi sentral Pancasila sebagai dasar Negara, juga semakin gencar
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menyuarakan penegakan Khilafah Islamiyah
dan berkeinginan menggantikan ideologi Pancasila dengan sistem Khilafah
yang dinilai sebagai sistem tunggal yang diberikan oleh Allah SWT untuk
mengeluarkan bangsa Indonesia dari berbagai permasalahan yang melanda.
Sistem demokrasi Pancasila yang telah menyatukan Nusantaratidak
diakui dan bahkan dianggap produk kaum Thogut karena sebagai pembawa masalah
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perang ideologi yang dilakukan cenderung
mengilustrasikan kegagalan sistem demokrasi Pancasila dalam membawa perubahan
bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penegakan Khilafah merupakan sebuah
kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar, karena Khilafah dianggap solusi
tunggal atas problematika tidak hanya di Indonesia, melainkan yang ada di dunia
ini.
Akan tetapi, nampaknya upaya kelompok-kelompok tersebut
tidak serta merta mendapat dukungan seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan tanpa
mengenyampingkan nilai-nilai ketauhidan individu, mayoritas rakyat Indonesia
yang dominan umat muslim tidak menerima gagasan penegakan Khilafah yang selalu
digaungkan diiringi dengan ilustrasi kegagalan Pemerintah Indonesia menerapkan
sistem demokrasi Pancasila.
Penolakan masyarakat akan upaya menggantikan ideologi
Pancasila dengan sistem Khilafah, telah membumikan Pancasila pada bumi Ibu
Pertiwi Nusantara. Namun demikian, upaya doktrinasi penegakan Khilafah
Islamiyah di Indonesia akan terus digaungkan oleh kelompok tersebut
memanfaatkan mulai menurunnya pemahaman dan penjabaran nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila, terutama di kalangan generasi muda.
Pancasila dan Islam pada dasarnya tidak ada yang
bertentangan. Bahkan Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar
Negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 yakni Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Moh. Yamin, KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Abdoel
Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Alexander Andries Maramis telah
mengkolaborasi pemikiran antara kewajiban nilai-nilai Ketuhanan dan tatanan
kehidupan sosial masyarakat.
Hal itulah yang menjadikan bangsa Indonesia mempunyai jati
diri dan mencerminkan wajah pribumi Nusantara.
Ketua MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amin mengatakan, Khilafah tidak
cocok di Indonesia karena pilar kebangsaan Indonesia sudah disepakati berbentuk
republic, sehingga tidak perlu lagi bicara Khalifah. Ketua MUI menegaskan bahwa
Tokoh Indonesia dari mahzab apapun telah menyepakati sistem yang dipakai saat
ini yakni sistem demokrasi Pancasila. Kemunculan sistem baru justru akan
menimbulkan gejolak baru.
Oleh karena itu, posisi Pancasila yang telah memasuki radar
“WASPADA” bagi masa depan Indonesia perlu segera diantispasi dan sendi-sendi
kekuatan pemersatu bagi kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia harus
semakin terintegrasi.
Fragmentasi elit politik yang menghalangi kemunculan
kepemimpinan nasional harus segera dihilangkan dan dikembalikan pada
nilai-nilai luhur Pancasila. Kita perlu meyakinkan kepada masyarakat bahwasanya
Pancasila merupakan “azas tunggal” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Kesepakatan delapan lembaga tinggi dan tertinggi Negara pada
25 Mei 2013 di Gedung Mahkamah Konstitusi yakni Presiden, MPR, DPR, DPD, MA,
BPK, MK dan KY untuk melakukan aksi nasional dalam upaya sosialisasi dan
penguatan Pancasila sebagai dasar ideologi Negara harus semakin ditingkatkan.
Empat hal penting dan strategis yang disepakati yaitu (1)
komitmen untuk secara aktif mengambil tanggung jawab dalam upaya menguatkan
Pancasila sebagai dasar ideologi negara sesuai peran, posisi, dan kewenangan
masing-masing. (2) Pancasila harus menjadi ideologi dan inspirasi untuk
membangun kehidupan bangsa dan negara yang rukun, harmonis, dan jauh dari
perilaku mendahulukan kepentingan kelompok atau golongan. (3) Pancasila, UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai empat pilar kehidupan berbangsa
harus diimplementasikan secara nyata. (4) perlu rencana aksi nasional yang
dilakukan suatu lembaga untuk melakukan sosialisasi dan penguatan nilai-nilai
Pancasila secara formal melalui pendidikan Pancasila dan konstitusi.
Rejuvenasi atau Semangat Mengembalikan
Rejuvenasi Pancasila merupakan
suatu upaya semangat untuk mengembalikan Pancasila seperti yang dikonsepkan dan
dicita-citakan para pendiri bangsa yakni Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai
alat politik, melainkan Pancasila ditujukan untuk mencapai masyarakat. Rejuvenasi
Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public
discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat
dilakukan reassessment, penilaian
kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan
pemikiran dan pemaknaan baru.
Dengan
demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal
krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang
dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia.
Pancasila
telah dinobatkan sebagai dasar negara Indonesia, ideologi pemersatu bangsa yang
dijadikan landasan dalam kehidupan bernegara seperti yang diimpikan para
pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia.Sudah semestinya Pancasila
ditempatkan secara terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Posisinya sebagai panduan nilai dan pedoman bersama (common platform)
untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupanberbangsa dan bernegara rakyat
Indonesia.(*)
Editor: Harian Momentum